Lampu chandelier yang menggantung
di pusat Pendopo Kabupaten Jepara membuat penjuru ruangan bermandikan dalam cahaya keemasan. Pendopo yang
dibangun di era pemerintahan Adipati Citro Sumo III (1730-1760) ini
telah berdiri sejak 1750.
“Kalau diperhatikan, bentuk aslinya menyerupai
kura-kura,” ujar Sugeng, yang sudah 25 tahun bertugas sebagai kepala
rumah tangga di Pendopo Kabupaten. Selain ruang utama di bagian tengah
(badan kura-kura), bagian depan dan belakang pendopo diapit oleh kamar,
masing-masing di sayap kanan dan kiri (mirip kaki kura-kura).
Sampai sekarang, Pendopo
Kabupaten ini tetap berfungsi sebagai rumah dinas bupati. “Bapak Bupati sendiri
sekarang tidur di ruangan yang dulunya berfungsi sebagai teras,” kata pria
jangkung yang hafal luar-dalam kompleks bangunan di depan alun-alun Jepara ini.
Kamar pingitan Kartini |
Masuk ke bagian
dalam, terdapat ruang peringgitan (ringgit: wayang kulit), yang di zaman dulu
kerap dijadikan tempat untuk menggelar wayang kulit. Antara ruang pendopo luar
dan peringgitan dibatasi rana (dibaca rono, arti: penyekat) berhias
ukiran Jepara yang halus, yang dulu
berfungsi sebagai penyekat yang membatasi ruang pingitan Kartini.
“Sebenarnya, rana
ini hanya duplikat. Sebab, setelah Kartini menikah dengan K.R.M. Adipati
Ario Singgih Djojo Adhiningrat (Bupati Rembang), rana yang asli ikut diboyong ke Pendopo Kabupaten Rembang,”
jelas Sugeng, yang menyebut kediaman Kartini dan suami kini beralih fungsi
menjadi museum.
Mendengar kata
pingitan, tak sabar saya ingin segera melongok kamar itu. Sepasang gorden hijau
menghiasi pintu kamar. Dari luar saya bisa menyaksikan lukisan besar Kartini.
Tiba-tiba saya merinding, membayangkan proses pembuatan sejarah yang
berlangsung dalam kamar berukuran 3 x 4 meter itu.
Di ruangan itu Kartini menghabiskan waktu untuk membaca buku-buku kiriman
kakaknya, R.M. Slamet Sosroningrat, yang terkenal berotak brilian. Jadi, jangan heran bila
sebelum usia 20, Kartini telah merampungkan membaca buku Max Havelaar, Van
Eeden, Augusta de Witt, Surat-Surat Cinta karya Multatuli, De
Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus, dan
roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek.
Kegemarannya membaca buku dan koran membuka cakrawala berpikir dan
kesadarannya terhadap jeratan feodalisme yang membodohi rakyatnya. Maka, di
kamar itu pula, ia mencurahkan segala konsep dan gagasan tentang pembebasan
kepada para sahabatnya di Eropa, salah satunya J.H. Abendanon, Menteri
Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Pada tahun 1911, setelah
Kartini meninggal (1904), kumpulan suratnya dibukukan oleh Abendanon dengan
judul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).
“Meski dipingit, beliau masih aktif mengajar anak-anak membaca dan
menulis,” kata Sugeng, sambil mengantar saya menuju serambi belakang pendopo,
tempat Kartini mengajar. Kini ruangan itu dipakai sebagai tempat pertemuan PKK.
“Nah, di taman inilah Kartini biasa membatik dan bercengkerama dengan
saudara-saudaranya,” jelas Sugeng, sambil menunjuk taman yang berbatasan dengan
serambi.
Sejurus kemudian, angin malam membawa wangi bunga kantil. Malam Jumat Wage,
dan harum bunga. Seperti membaca gelagat tubuh saya, Sugeng mengatakan, harum
bunga itu berasal dari dua batang pohon kokoh yang menjulang di bagian kiri
kebun. “Pohon kantil ini ditanam sendiri oleh Kartini,” jelasnya.
”Tidak mencoba meditasi di kamar Kartini, Mbak?” tanya Sugeng,
tiba-tiba. Refleks, kepala saya menggeleng cepat. Lagipula, rasanya, Kartini
akan lebih senang jika saya cepat-cepat saja menyelesaikan tulisan artikel ini.
Dan bukan untuk membagikan cerita siapa-siapa saja yang pernah bersemadi dalam
kamar pingitannya. Melainkan, untuk menyampaikan cita-cita yang bergulir dari
buah pikirannya tentang sebuah peradaban yang terlepas dari belenggu feodalisme
dalam rupa apapun itu.
**Tulisan ini merupakan modifikasi dari hasil perjalanan saya di Jepara pada tahun 2009.
**Tulisan ini merupakan modifikasi dari hasil perjalanan saya di Jepara pada tahun 2009.