BILA PRIA DI SARANG WANITA
Pilihan profesi yang akrab dengan dunia wanita, tak lantas membuat mereka kehilangan jati dirinya sebagai seorang pria.
Dijadikan
‘maskot’ maupun tempat curahan hati hanyalah ‘bonus’ kecil yang
didapat seorang pria dari dunia profesi yang sarat wanita. Apa lagi
yang membuat mereka mau repot-repot menghafal tanggal menstruasi atasan,
atau memasang kamera di setiap pojok ruang kerja? Berikut ini kisah
tiga pria yang memilih berkarier di ‘sarang’ wanita.
MENJADI MASKOT
Berprofesi sebagai instruktur aerobik membuat Sukoco
(35) sering diperlakukan bak maskot oleh para wanita di lingkungan
kerjanya. “Rasanya seperti memiliki grup pemandu sorak yang siap mengikuti ke mana
pun saya pergi!” ujar pria bertubuh tinggi ini.
Tak hanya
itu, ‘murid-muridnya’ juga sering menjadikan Sukoco sasaran ‘kegemasan’
mereka. Tak sekali dua kali tepukan atau colekan melayang ke bokongnya
yang dianggap seksi. Malah, baru-baru ini, seorang ibu dengan antusias
maju dan memotretnya saat sedang melakukan gerakan aerobik dengan
posisi nungging! “Apa tidak ada pose yang lebih menarik yang
bisa dia ambil?” katanya, tak habis pikir. Tetapi, ia mengaku tidak bisa
berbuat apa-apa. Apa mau dikata, hal itu merupakan paket risiko yang
harus diembannya sebagai maskot.
Sifat dasar wanita yang
gemar memberi juga sering membuatnya kecipratan rezeki. Bayangkan saja,
hampir sepanjang tahun ia kebanjiran hadiah. Tak hanya di hari ulang
tahun, di hari-hari biasa pun ia sering mendapat kado-kado kecil
bersifat ‘just because’ dari para peserta senamnya. “Biasanya,
di tengah belanja, mereka melihat barang yang saya sukai, lalu
membelikannya untuk saya,” ujar lajang yang kerap menjadi jawara di
berbagai kejuaraan nasional maraton aerobik ini, senang.
Bentuk
perhatian yang diterima Sukoco juga diwujudkan lewat kritikan dan
limpahan saran. Mereka dengan antusias menawarkan deretan masukan,
mulai dari urusan kencan hingga penampilan. Pernah suatu kali ia
menerima SMS kritik dari salah satu anggotanya, yang berbunyi: “Maaf, ya, Co, hari ini setelan pakaian yang kamu pakai kurang cocok.”
Atau, pernah juga mereka mengomentari pakaiannya yang dianggap terlalu
seksi saat melatih.
“Selama tujuannya membangun, saya tidak keberatan
dikritik. Saya justru sangat berterima kasih, karena itu tandanya mereka
peduli kepada saya,” ucap Sukoco. Tapi, selain kebanjiran perhatian,
Sukoco juga sering ketiban komplain. “Pagi, siang, malam senam
melulu. Senam apa itu?” begitu bunyi protes yang diterimanya dari salah
satu suami peserta aerobiknya.
Lain lagi kisah yang dialami oleh Imam Wibowo
(32). Sebagai penyiar radio yang memiliki segmen pendengar wanita,
posisinya diapit oleh bawahan dan atasan yang semuanya wanita. Tapi,
siapa sangka, bergaul dengan kaum hawa bisa mengubah gaya hidupnya jadi
lebih sehat. “Mereka sering mengompori saya untuk pergi ke gym.
Padahal, tadinya saya malas membayangkan harus berkeringat dan latihan
beban. Tapi, setelah dijalani, ternyata cukup menyenangkan. Badan jadi
lebih bugar dan gairah kerja meningkat!” ujarnya, semangat.
Kebutuhan
wanita akan rasa aman juga membuat para pria ini sering diposisikan
sebagai figur pengayom bagi rekan sekerjanya. Hal tersebut dialami oleh
Ahmad Sofieyulloh (37). Sebagai perancang busana, pria yang akrab disapa Sofie ini hari-harinya dikelilingi oleh peragawati dan model. Sofie sering menyaksikan kejamnya
dunia persaingan yang terjadi di balik gemerlapnya panggung fashion. “Hal
sepele seperti pinjam-meminjam barang bisa berkembang
menjadi masalah besar.” Untuk itu, Sofie harus siap dijadikan tempat
mengadu dan menjadi mediator bagi pihak yang berselisih. “Sebisa mungkin
saya menjadi figur kakak atau ayah yang bisa membuat mereka merasa aman
dan diayomi,” ujarnya, bijak.
TETAP 'LURUS'
Bagi mereka yang belum pernah bertemu, nama panggilan Sofie sering membuat orang salah sangka. “Saya sudah terbiasa, kok, dikira sebagai wanita. Itu bukan masalah yang besar buat saya,” ucap Sofie, maklum. Ayah tiga anak ini sadar, ‘Sofie’ bukan nama yang lumrah
dipakai oleh pria. Lucunya, panggilan ini justru diberikan oleh
kedua orang tuanya sejak ia masih kecil. “Mungkin, saat itu nama Ahmad
sudah terlalu umum, dan Sofie terdengar lebih populer,” candanya.
Sejak
masih SMA, Sofie mengaku lebih senang bergaul dengan teman-teman
wanita. Menurutnya, mengobrol dengan teman wanita lebih asyik. Tentu
saja kebiasaannya bergaul ini mendatangkan komentar miring. Ia sering
dipanggil bencong oleh teman-teman prianya. Namun, pria kelahiran Jember
ini bergeming. Ia bahkan tidak mendendam ataupun sakit hati. Baginya,
bukti jauh lebih berbicara dibandingkan dengan kata-kata. Sekarang,
hidup bersama istri dan ketiga anaknya yang lucu-lucu membuat kariernya
sebagai perancang busana makin mengilap!
Namun demikian,
Sofie juga sadar bahwa bergelut di profesinya ini akan berhadapan dengan
stereotip sebagai ‘pria melambai’. Ia mengakui, faktor bawaan atau
genetis dan pergaulan sering dijadikan alasan utama di balik timbulnya
fenomena ini. “Terlalu sering menghabiskan waktu bersama wanita, secara
alamiah bisa membuat pria jadi terbawa feminin. Baik yang terlihat dari
segi penampilan, bahasa tubuh, maupun ke orientasi seksual. Tetapi,
bagi saya, cukup hatinya yang feminin, tapi tubuhnya jangan!” ujar pria
yang memiliki gaya bicara lembut ini. Ia juga bersyukur bisa membentengi
dirinya dengan mempertebal iman.
Selain benteng iman,
sebagai penyeimbang, Sofie juga bergabung dalam komunitas para pria,
yang, “Anggotanya adalah para ayah dari teman-teman sekolah anak saya,”
ujarnya, tersenyum. Saat menjemput anak-anaknya sekolah, Sofie selalu
menyempatkan diri untuk mengobrol bersama para bapak ini. Bahkan,
baru-baru ini mereka bermain dalam sebuah drama di acara unjuk bakat
sekolah. “Untung saja, saya tidak kebagian peran sebagai wanita
he…he…he…,” ceritanya, seru.
Sukoco juga harus menghadapi
persepsi orang yang cenderung miring terhadap profesinya. Tak hanya
wanita yang mengagumi tubuh atletisnya, tetapi juga pria. Bahkan, ia
sering mendapat SMS mesra dari para pria. “Tapi, karena mereka
tidak memaksa, maka tidak ada alasan bagi saya untuk membenci atau
menjauhi mereka,” jelas pria lulusan program diploma Kesehatan
Masyarakat Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo, ini.
Tapi, meski begitu banyak dikelilingi oleh wanita, baik Sukoco maupun Imam tetap saja menjomblo.
Apa tidak takut dicap tidak normal? “Justru karena bertemu banyak
wanita, saya jadi sulit memilih. Saya jadi banyak mengenal karakter dan
tahu kejelekan wanita. Hal ini membuat saya gampang menghakimi dan
terkesan suka mengatur serta mengomentari pasangan,” jelas Imam, yang
sudah beberapa kali putus-sambung dalam menjalin cinta.
Keseringan menjadi teman curhat
wanita, kini Imam malah dijadikan rujukan oleh teman-teman prianya yang
bermasalah dengan pasangan mereka. “Walaupun dalam praktik saya masih
nol besar, dalam teori saya dianggap sangat mengerti, ha…ha…ha…,” ujar
pria bermata sipit ini, geli.
Begitu juga dengan Sukoco.
Menjadi pusat limpahan perhatian malah membuatnya sulit mencari
pasangan. “Entahlah, mungkin saya ini termasuk tipe pemilih. Padahal,
untuk ukuran umur, saya ini sudah memasuki tahap ‘last minutes’,” ujar pria yang tengah menjalin asmara dengan wanita asing ini. Tapi, sering menjadi tempat curhat,
lumayan memberikan dampak psikologis baginya. “Saya jadi takut
berkomitmen. Takut jika kemudian hubungan saya akan berakhir menyedihkan
seperti cerita-cerita yang sering saya dengar dari teman-teman wanita,”
ujarnya, dengan tatapan menerawang.
HARUS TAHAN GODAAN
Pria
normal mana yang tidak tertarik melihat wanita cantik dan seksi? Meski
profesi mereka identik dengan dunia feminin, sebagai pria tulen, hormon
testosteron mereka, toh, tetap memegang kendali utama. Sukoco,
misalnya, mengaku sempat gelagapan saat seorang wanita cantik nan seksi
melenggang masuk ke kelas aerobiknya. “Konsentrasi saya langsung buyar
dan semua gerakan saya jadi kacau!” ceritanya, seru. Hal ini tentu saja
dapat berdampak buruk bagi profesionalismenya sebagai trainer.
“Memang susah kalau dari awal pikirannya sudah ke arah ‘sana’. Oleh
sebab itu, sebelum latihan, saya selalu melakukan meditasi kecil agar
pikiran dan tubuh terfokus pada tugas,” tambahnya.
Bagaimana
pula dengan mereka yang telah berkeluarga seperti Sofie. Apakah
kedekatannya dengan para model dan peragawati tidak membuat istrinya
‘panas’ hati? “Istri saya sangat mengerti risiko bersuamikan desainer,
karena telah kami bicarakan jauh hari sebelum menikah. Bahkan, melihat
para model melakukan fitting baju dan berpenampilan ‘polos’ di
belakang panggung, tak lagi membangkitkan gairahnya. “Bukannya sudah
mati rasa, tapi di saat genting seperti itu pikiran saya hanya terfokus
pada pekerjaan,” tambahnya.
Memang, dulu, ketika masih
mengawali karier, Sofie sering merasa jengah. Ia meminta orang lain
untuk memakaikan baju ke tubuh sang model. Kini, ia tak lagi merasa
canggung saat harus turun tangan langsung. “Rasanya sama seperti saat
memasangkan baju ke tubuh mannequin. Yang saya pikirkan hanyalah bagaimana baju itu bisa jatuh dengan tepat dan terlihat indah di tubuh mereka.”
Pengalaman
heboh sempat dialami oleh Imam. Suara merdu dan kelihaiannya dalam
berkomunikasi sering membuat para pendengarnya penasaran dan ingin
mengenalnya lebih dekat. Ada yang rajin mengirim kartu ucapan, atau
mengirim sarapan dan makan siang gratis. Tetapi, pernah pula ia mesti
berurusan dengan salah satu penggemar wanita yang terobsesi berat
padanya. Wanita itu berhasil mengetahui nomor telepon pribadinya dan
meneleponnya setiap hari. “Tak hanya itu, wanita tersebut juga mengajak
saya bertandang ke rumahnya untuk dikenalkan kepada kedua orang tuanya
karena merasa saya adalah soulmate-nya,” ceritanya.
PANDAI 'MEMBACA'
Walaupun
merasa tak bisa hidup tanpa wanita, para pria ini mengaku sering
kelimpungan menghadapi sisi emosional wanita yang cenderung naik- turun
bak yoyo. Imam contohnya. Ia mengaku harus kerja keras untuk menebak
maksud di balik kata-kata yang diucapkan oleh wanita. “Sering kali
mereka bicara A, tapi yang dimaksud adalah B. Namun, adakalanya juga
mereka bicara langsung secara eksplisit. Nah, bingung, ‘kan?” ucapnya,
sambil mengusap-usap rambut cepaknya.
Soal wanita yang
dianggap suka bergosip, Imam tidak terlalu mempermasalahkannya, karena
rekan-rekan wanitanya bukan termasuk jenis yang suka bergosip. “Tetapi,
saya sangat terganggu saat sifat manja mereka kambuh,” tuturnya. Kalau
sudah begini, rapat yang sudah lama dijadwalkan bisa batal karena alasan
tidak mood. Ia pun harus menerima hal itu, meski dengan
jengkel, mengingat ia sudah mempersiapkan semua materi rapat.
Imam kemudian punya strategi khusus untuk mengakali masalah yang satu ini,
yaitu dengan menghafalkan tanggal datang bulan atasan. “Saya tidak akan
mengadakan rapat di tanggal-tanggal yang berdekatan dengan jadwal datang
bulan atasan. Takut rapat tidak maksimal karena mood-nya kurang baik,” bisiknya.
Sofie pun sempat waswas oleh kebiasaan wanita yang suka ngumpul-ngumpul dan ngerumpi. “Kalau tidak sampai mengganggu proses produksi, sih, oke-oke
saja. Tapi, kalau pekerjaan jadi tertunda gara-gara keseringan
bergosip, ini yang tidak saya sukai,” tegasnya. Untuk itu, ia memasang
lima buah kamera pemantau yang masing-masing ditempatkan di setiap pojok
ruang kerja. “Paling tidak mereka akan lebih hati-hati dan tahu
membatasi diri,” ujarnya lagi.
Sementara itu, Sukoco harus terima
jika gerak-geriknya disalahartikan. Sebagai instruktur aerobik,
adakalanya ia harus turun tangan untuk membetulkan gerak atau posisi
tubuh peserta yang salah. Tapi, kedekatan profesional ini sering
diartikan sebagai kedekatan personal. “Repot, ‘kan? Padahal, kalau tidak dibetulkan, nanti tubuh mereka bisa cedera,” jelasnya.
Selain
sifat-sifat yang sering membuat urat leher pria menegang, wanita juga
dipandang sebagai rekan kerja yang menyenangkan. ”Mereka cenderung tidak
mau keluar dari peraturan. Dan, dalam hal koordinasi, mereka cukup
kompak,” ujar Sofie. Saat ingin memohon kenaikan gaji misalnya, mereka
akan mengadakan rapat untuk merumuskan surat permohonan kenaikan gaji.
Setelah itu, salah satu perwakilan mereka akan menghadap Sofie untuk
mendiskusikan keinginan mereka ini. “Cukup demokratis dan taktis!”
ujarnya, kagum.
“Saya kagum pada kemampuan multitasking
wanita!” ujar Imam. Kemampuan khas wanita ini karena terkait dengan
kinerja hormon estrogen. Jadi, selain sering dijadikan kambing hitam
sebagai penyebab naik-turunnya mood, estrogen ternyata
berfungsi memacu pertumbuhan sel-sel saraf otak. Hal inilah yang
membuat wanita mampu melakukan banyak aktivitas yang tidak saling
berhubungan pada saat bersamaan. “Sifat keibuan juga membuat wanita tak
hanya terfokus pada urusan kerja. Inilah asyiknya memiliki atasan
wanita!” tandas Imam.
** Artikel ini pernah terbit di Femina Edisi 36, 2007
bagus lagi artikelnya...dan bikin ketawa...oh ternyata...
ReplyDelete