Vatadage |
Penggemar epos Ramayana mengenalnya dengan sebutan
Alengka, tempat Raja Rahwana menyekap Shinta, kekasih Rama. Sementara itu
naskah kuno sansekerta menggelarinya dengan sebutan Serendip, atau tanah
kemilau. Pasalnya, negara kecil di selatan India ini memang sangat tersohor
dengan keindahan koleksi batu permatanya.
Lima
hari memang waktu yang terlampau singkat untuk merekam semua keelokan yang
ditawarkan oleh negeri seribu gajah ini. Namun saya cukup beruntung bisa
menyaksikan senyum dan antusiasme baru rakyat Sri Lanka paska perang saudara.
Berikut kisah perjalanan saya di “negeri Rahwana” itu.
BERTETIRAH KE MASA LALU
Sri Lanka bakal menjadi tempat tujuan sempurna bagi para
pecandu sejarah. Reruntuhan bangunan kuil, istana, dan ukiran patung atau
lukisan tembok kuno menjadi saksi yang mengisahkan zaman keemasan abad silam.
Polonaruwa adalah tujuan pertama kami. Distrik yang terletak 216 km dari ibu
kota negara Colombo ini di abad pertengahan menjadi pusat pemerintahan kerajaan
kedua setelah Anuradhapura.
Beruntung
Chaaya Village, Habarana, tempat kami menginap hanya berjarak sekitar 30
menitan dari lokasi situs. Pasalnya, malam sebelumnya – setelah menempuh
perjalanan udara selama lima jam dari Jakarta menuju Sri Lanka (via Singapura)
– kami baru saja tiba dari Colombo. Namun rasa kantuk kami sirna saat mendengar
kisah kehebatan para raja yang mengalir dari Prabath Harshakumar,
pemandu dari Jetwing Tour yang mengawal kami selama di Sri Lanka.
Apa yang diceritakan Kumar terbukti saat kami tiba di pusat reruntuhan kompleks kerajaan yang pernah diperintah oleh Raja Parakramabahu I. Selain reruntuhan istana raja tujuh lantai Vejayanta Pasada, tiga lainnya yang mencuri perhatian adalah ruang dengar pendapat dengan pilar-pilar batunya yang berukiran indah, kemudian Vatadage, bangunan mirip coloseum Roma dengan patung Budha bersemedi di tengah, serta stupa raksasa Dagobas. Semuanya terpelihara serta tertata dengan apik dan bersih. Pantas jika di tahun 1982 UNESCO memasukkan Polonnaruwa ke dalam daftar World Heritage (cagar budaya dunia).
Terik
sinar Matahari makin menyengat ketika kami beranjak ke Gal Vihare. Makanya,
kami sempat kaget ketika tahu bahwa untuk bisa masuk ke bagian utama kuil kami
harus melepas alas kaki. Itu berarti harus berjalan bertelanjang kaki di atas
pasir panas yang siang itu terasa bak penggorengan! Lagi-lagi keengganan ini
dikalahkan oleh rasa penasaran terhadap patung Budha “tidur” berukuran panjang
14 meter yang diukir langsung dari sebongkah batu granit raksasa.
The sitting Budha in Gal Vihare |
Namun,
ada hal lain yang membuat saya kagum pada Parakramabahu. Selain seleranya yang
bagus dalam arsitektur, ia juga sangat perhatian pada nasib rakyatnya yang
rata-rata petani. Di bawah pemerintahannya, daerah Anuradhapura dan Polonnaruwa
yang termasuk wilayah kering disulap menjadi daerah pertanian subur.
Jejak
buktinya ini kami saksikan saat mengunjungi danau buatan raksasa Parakrama
Samudraya (Samudra Parakrama) yang dibuat untuk menampung air selama musim
hujan. Reservoir dari abad ke-12 yang mencapai luasan 2.430 hektar ini masih
beroperasi hingga kini dan mampu mengaliri 11 kanal irigasi dan tiga reservoir
kecil lainnya. Hebat!
Bersambung ke... "Menggoda Singa Gunung"
No comments:
Post a Comment