Friday, 10 April 2015

Macan Kurung & Idealisme Kartini


"Mendengar 'auman' Kartini dalam simbolisasi Macan Kurung"


Tak hanya diabadikan sebagai nama jalan raya, jejak perjuangan Kartini telah menjadi bagian denyut nadi kehidupan warga Jepara dan Rembang. Waktu telah hampir petang saat mobil yang membawa saya dari Semarang memasuki gerbang Jepara. Gerbang bertuliskan ’Selamat Datang di Bumi Kartini’ itu ‘dijaga’ oleh dua ekor harimau garang dalam kurungan. Baru di hari berikutnya, saya mengerti makna yang terkandung dalam simbolisasi Macan Kurung tersebut. 

Keesokan harinya, perwujudan harimau dalam sangkar itu kembali saya saksikan sebagai salah satu benda yang dipamerkan dalam Museum Kartini di Jepara. Kali ini saya menyempatkan diri untuk mengamatinya dengan lebih detil. Karya ukiran ini menampilkan sebuah sangkar dengan seekor harimau yang sedang mengaum dan sebuah bola yang menggelinding bebas di dalamnya. Di atas cungkup sangkar berdiri seekor burung tengah menyambar ular di paruhnya.  


Macan Kurung, demikian penduduk Jepara menyebut hasil pahatan tangan Singo Wiryo itu. Keunikan ukiran Macan Kurung buatan seniman asal Desa Mulyo Harjo, Jepara, ini terletak pada detail dan kerumitan pengerjaannya. Karya seni ini dibuat dari batang kayu utuh, tanpa sambungan, dan tanpa tempelan. Untuk menghasilkan patung harimau dan bola dalam kurungan, sang seniman harus memahat dari antara jeruji-jeruji sangkar. Setidaknya, butuh waktu sebulan untuk merampungkan masterpiece ini.

Hanya sedikit pengukir yang mewarisi kelihaian seni pahat ini. Salah satunya adalah Nardi, satu-satunya keturunan Singo Wiryo, yang pada waktu saya kunjungi (2009) berusia lebih dari 80 tahun. Sayang, karena sudah terlalu tua, di usia 78 Nardi pensiun sebagai pemahat. Ditemui di kediamannya di Desa Mulyo Harjo, Nardi sangat menyayangkan produksi Macan Kurung yang mandek.  

“Ndamele angel, sing pesen wis ora ana (membuatnya susah, yang pesan sudah tidak ada),” jelasnya terbata-bata dalam bahasa Jawa. Selain proses pembuatan yang sulit, sekarang sudah tidak ada lagi orang yang memesan Macan Kurung. Produk ini dicap ketinggalan zaman! Padahal, Macan Kurung menyimpan histori kepahlawanan seorang wanita asal Jepara, yaitu Raden Ajeng Kartini. 

Menurut sejarah, Macan Kurung dibuat berdasarkan pesanan Kartini, putri K.R.M Adipati Ario Samingun Sosroningrat, yang kala itu (1881) menjabat sebagai wedana (bupati) di daerah Jepara, Jawa Tengah. Macan mengaum dalam kurungan tersebut tak lain adalah Kartini sendiri, yang saat itu sedang menjalani masa pingitan. Sementara bola di dalamnya menggambarkan ide dan pikirannya yang bergulir bebas. Melalui simbolisasi Macan Kurung, Kartini ingin menyampaikan bahwa pingitan tidak bisa memenjarakan buah pikiran dan ide-idenya yang bebas bak burung yang terbang lepas. 

Meski dibuat lebih dari seabad lalu, gema 'auman' harimau yang terkurung itu masih terdengar hingga sekarang. Tidak secara harfiah, tetapi melalui buah pikiran yang mengalir dalam lembar demi lembar tulisan tangan Kartini kepada para sahabatnya di Eropa. Gagasan Kartini ini tak hanya membuat para sahabat ekspatriatnya menaruh hormat, tetapi juga menjadi sumber inspirasi bagi kaumnya di Indonesia dari masa ke masa.

Dirgahayu wanita Indonesia! 


“Kami akan menggoyahkan gedung feodalisme itu 
dengan segala tenaga yang ada pada kami. 
Dan, andaikata hanya ada satu potong batu yang jatuh, 
kami akan menganggap hidup kami tidak sia-sia....”
(R.A. Kartini, 1900)




**Tulisan ini adalah kisah perjalanan saya saat menapak tilas jejak perjalanan hidup Raden Ajeng Kartini di Rembang dan Jepara sebagai salah satu bagian dalam edisi Kartini di majalah femina di tahun 2009. 

2 comments:

  1. ukiran macan kurung merupakan simbol harapan dan perlawanan masyarakat dapa masa penjajahan. Belanda yang menjajah negeri ini, disimbolkan dengan macan. Yaitu hewan ganas yang memakan apa saja. Sehingga harus di kurung agar tidak mengancam manusia.

    “Macan di dalam kurungan diikat rantai maksudnya, macan yang galak bisa saja mendobrak kurungan jeruji-jeruji, sehingga harus masih diikat dengan rantai agar lebih aman, meskipun sudah di dalam kurungan,”

    ReplyDelete

  2. Oh, rupanya ada bentuk penafsiran yang berbeda ya 😃 Menambah khasanah. Terima kasih.

    Sedikit tambahan informasi, penafsiran yang saya pakai dalam tulisan ini adalah hasil wawancara dengan penjaga museum tentang Kartini di Jepara. Dan juga hasil kunjungan ke keturunan sang pemahat pertama macan kurung, yang dulu mendapat pesanan dari Kartini.

    Tapi, sekali lagi terima kasih untuk pengayaan tafsirnya. Dan terima kasih sudah bersedia mampir untuk membaca 😊🙏

    ReplyDelete

Belajar Dari Jagung

Kisah ini saya tulis sebagai kenangan sekaligus ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada kakak saya, Teguh dan istrinya Caec...