Thursday, 12 March 2015

Menyapa Wisanggeni

Wisanggeni - Photo Courtesy of Wikimedia


Wisanggeni...Nama ini sering mencuat di alam pikir dan terdengar di telinga di saat-saat yang tidak terduga. Pagi ini, nama ini tiba-tiba muncul saat duduk di tengah penuhnya bus Transjakarta.

Wisanggeni...Nama ini terdengar begitu apik sekaligus misterius. Saya tahu, Wisanggeni adalah karakter dalam pewayangan. Meski, saya jarang mendengar namanya disebut dalam pagelaran wayang kulit. Tapi, setiap kali nama itu terngiang, benak saya akan menghadirkan sederetan kata: kesatriya, keberanian, kebenaran, dan kelembutan hati.

Pertama kali mendengar nama Wisanggeni, saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Ayah saya penggemar wayang kulit, dan berteman dengan seorang dalang, Lurah dari daerah Tumapel, Jawa Timur. Kami, sering diajak berkunjung dan mengenal beberapa karakter wayang yang satu per satu dikeluarkan dari peti kayu.

Di rumah, sosok Wisanggeni ini berdiri berhadapan wajah dengan sosok Bima. Keduanya ditatah di atas kulit sapi dengan bulunya yang tebal dan halus. Saya ingat ayah saya pernah mengungkap siapa Wisanggeni. Hanya, sampai saat ini saya gagal mengingatnya. Anehnya, sampai sekarang, nama itu membekas di hati saya. Entah kenapa...

Hari ini, setelah muncul lagi, saya memutuskan untuk mengetikkan "Wisanggeni" pada bar pencarian Google. Ini rangkuman tentang jati diri Wisanggeni yang saya temukan:

Wisanggeni merupakan tokoh istimewa dalam pewayangan Jawa. Ia dikenal pemberani, tegas dalam bersikap, serta memiliki kesaktian luar biasa. Putra Arjuna yang lahir dari seorang bidadari bernama Batari Dresanala, putri Batara Brama. Karena hasutan, kakeknya sendiri, Batara Brama, membuang bayi Wisanggeni yang lahir sebelum waktunya ke dalam kawah Candradimuka.

Tapi atas perkenan para dewa, bukannya mati, Wisanggeni justru keluar dari kawah sebagai pemuda. Batara Narada memberinya nama Wisanggeni, yang artinya adalah "Racun Api". Ia tumbuh sebagai ksatriya yang kesaktiannya mengalahkan kesaktian para Pandawa. Bahkan, jauh mengungguli Bima dan Gatutkaca. Meski digambarkan berpembawaan angkuh, tapi hatinya baik dan suka menolong.

Di jagad pewayangan, ia sering dijuluki sebagai "manusia edan". Dengan sifat "api" yang dibawanya, ia tidak akan pandang bulu "membakar" siapapun itu, apakah musuh atau sodara, teman atau tetangga. Pijakannya adalah kebenaran, dan kebatilan menjadi musuhnya.

Ia bukan tokoh yang pandai bermanis lidah, menyenangkan telinga orang dengan hal yang indah-indah. Tetapi, berkata apa adanya, bahkan menolak berbahasa halus pada para dewa.Bagi Wisanggeni, ukuran kebenaran tidak bisa dimanipulasi dengan kehalusan tutur budi bahasa.

Sosok titisan Wisanggeni ini yang sepertinya sedang dibutuhkan Indonesia. Integritas yang lahir dari jiwa bukan karena pertanyaan, "Berani berapa?". Loyalitas yang tidak memandang siapa, dan kompetensi yang tahu di mana ujung dan pangkalnya -- sebab, orang yang berjuang tanpa landasan dan visi sama halnya anak panah yang dilepas ke atas langit kosong.

Ah, semoga... dan semoga, kawah Candradimuka yang kini makin bergolak mampu melahirkan Wisanggeni-Wisanggeni muda yang siap menegakkan kebenaran dan menghanguskan kebatilan. Amin!

Belajar Dari Jagung

Kisah ini saya tulis sebagai kenangan sekaligus ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada kakak saya, Teguh dan istrinya Caec...