Friday, 10 April 2015

Menyambangi Kamar Kartini

Lampu chandelier yang menggantung di pusat Pendopo Kabupaten Jepara membuat penjuru ruangan bermandikan dalam cahaya keemasan. Pendopo yang dibangun di era pemerintahan Adipati Citro Sumo III (1730-1760) ini telah berdiri sejak 1750. 

“Kalau diperhatikan, bentuk aslinya menyerupai kura-kura,” ujar Sugeng, yang sudah 25 tahun bertugas sebagai kepala rumah tangga di Pendopo Kabupaten. Selain ruang utama di bagian tengah (badan kura-kura), bagian depan dan belakang pendopo diapit oleh kamar, masing-masing di sayap kanan dan kiri (mirip kaki kura-kura). 

Sampai sekarang, Pendopo Kabupaten ini tetap berfungsi sebagai rumah dinas bupati. “Bapak Bupati sendiri sekarang tidur di ruangan yang dulunya berfungsi sebagai teras,” kata pria jangkung yang hafal luar-dalam kompleks bangunan di depan alun-alun Jepara ini.  


Kamar pingitan Kartini
Masuk ke bagian dalam, terdapat ruang peringgitan (ringgit: wayang kulit), yang di zaman dulu kerap dijadikan tempat untuk menggelar wayang kulit. Antara ruang pendopo luar dan peringgitan dibatasi rana (dibaca rono, arti: penyekat) berhias ukiran Jepara yang halus, yang dulu berfungsi sebagai penyekat yang membatasi ruang pingitan Kartini. 

“Sebenarnya, rana ini hanya duplikat. Sebab, setelah Kartini menikah dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat (Bupati Rembang), rana yang asli ikut diboyong ke Pendopo Kabupaten Rembang,” jelas Sugeng, yang menyebut kediaman Kartini dan suami kini beralih fungsi menjadi museum. 

Mendengar kata pingitan, tak sabar saya ingin segera melongok kamar itu. Sepasang gorden hijau menghiasi pintu kamar. Dari luar saya bisa menyaksikan lukisan besar Kartini. Tiba-tiba saya merinding, membayangkan proses pembuatan sejarah yang berlangsung dalam kamar berukuran 3 x 4 meter itu. 


Di ruangan itu Kartini menghabiskan waktu untuk membaca buku-buku kiriman kakaknya, R.M. Slamet Sosroningrat, yang terkenal berotak brilian. Jadi, jangan heran bila sebelum usia 20, Kartini telah merampungkan membaca buku Max Havelaar, Van Eeden, Augusta de Witt, Surat-Surat Cinta karya Multatuli, De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus, dan roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek.

Kegemarannya membaca buku dan koran membuka cakrawala berpikir dan kesadarannya terhadap jeratan feodalisme yang membodohi rakyatnya. Maka, di kamar itu pula, ia mencurahkan segala konsep dan gagasan tentang pembebasan kepada para sahabatnya di Eropa, salah satunya J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Pada tahun 1911, setelah Kartini meninggal (1904), kumpulan suratnya dibukukan oleh Abendanon dengan judul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). 

“Meski dipingit, beliau masih aktif mengajar anak-anak membaca dan menulis,” kata Sugeng, sambil mengantar saya menuju serambi belakang pendopo, tempat Kartini mengajar. Kini ruangan itu dipakai sebagai tempat pertemuan PKK. “Nah, di taman inilah Kartini biasa membatik dan bercengkerama dengan saudara-saudaranya,” jelas Sugeng, sambil menunjuk taman yang berbatasan dengan serambi.  

Sejurus kemudian, angin malam membawa wangi bunga kantil. Malam Jumat Wage, dan harum bunga. Seperti membaca gelagat tubuh saya, Sugeng mengatakan, harum bunga itu berasal dari dua batang pohon kokoh yang menjulang di bagian kiri kebun. “Pohon kantil ini ditanam sendiri oleh Kartini,” jelasnya.

”Tidak mencoba meditasi di kamar Kartini, Mbak?” tanya Sugeng, tiba-tiba. Refleks, kepala saya menggeleng cepat. Lagipula, rasanya, Kartini akan lebih senang jika saya cepat-cepat saja menyelesaikan tulisan artikel ini. Dan bukan untuk membagikan cerita siapa-siapa saja yang pernah bersemadi dalam kamar pingitannya. Melainkan, untuk menyampaikan cita-cita yang bergulir dari buah pikirannya tentang sebuah peradaban yang terlepas dari belenggu feodalisme dalam rupa apapun itu.


**Tulisan ini merupakan modifikasi dari hasil perjalanan saya di Jepara pada tahun 2009.



 

Macan Kurung & Idealisme Kartini


"Mendengar 'auman' Kartini dalam simbolisasi Macan Kurung"


Tak hanya diabadikan sebagai nama jalan raya, jejak perjuangan Kartini telah menjadi bagian denyut nadi kehidupan warga Jepara dan Rembang. Waktu telah hampir petang saat mobil yang membawa saya dari Semarang memasuki gerbang Jepara. Gerbang bertuliskan ’Selamat Datang di Bumi Kartini’ itu ‘dijaga’ oleh dua ekor harimau garang dalam kurungan. Baru di hari berikutnya, saya mengerti makna yang terkandung dalam simbolisasi Macan Kurung tersebut. 

Keesokan harinya, perwujudan harimau dalam sangkar itu kembali saya saksikan sebagai salah satu benda yang dipamerkan dalam Museum Kartini di Jepara. Kali ini saya menyempatkan diri untuk mengamatinya dengan lebih detil. Karya ukiran ini menampilkan sebuah sangkar dengan seekor harimau yang sedang mengaum dan sebuah bola yang menggelinding bebas di dalamnya. Di atas cungkup sangkar berdiri seekor burung tengah menyambar ular di paruhnya.  


Macan Kurung, demikian penduduk Jepara menyebut hasil pahatan tangan Singo Wiryo itu. Keunikan ukiran Macan Kurung buatan seniman asal Desa Mulyo Harjo, Jepara, ini terletak pada detail dan kerumitan pengerjaannya. Karya seni ini dibuat dari batang kayu utuh, tanpa sambungan, dan tanpa tempelan. Untuk menghasilkan patung harimau dan bola dalam kurungan, sang seniman harus memahat dari antara jeruji-jeruji sangkar. Setidaknya, butuh waktu sebulan untuk merampungkan masterpiece ini.

Hanya sedikit pengukir yang mewarisi kelihaian seni pahat ini. Salah satunya adalah Nardi, satu-satunya keturunan Singo Wiryo, yang pada waktu saya kunjungi (2009) berusia lebih dari 80 tahun. Sayang, karena sudah terlalu tua, di usia 78 Nardi pensiun sebagai pemahat. Ditemui di kediamannya di Desa Mulyo Harjo, Nardi sangat menyayangkan produksi Macan Kurung yang mandek.  

“Ndamele angel, sing pesen wis ora ana (membuatnya susah, yang pesan sudah tidak ada),” jelasnya terbata-bata dalam bahasa Jawa. Selain proses pembuatan yang sulit, sekarang sudah tidak ada lagi orang yang memesan Macan Kurung. Produk ini dicap ketinggalan zaman! Padahal, Macan Kurung menyimpan histori kepahlawanan seorang wanita asal Jepara, yaitu Raden Ajeng Kartini. 

Menurut sejarah, Macan Kurung dibuat berdasarkan pesanan Kartini, putri K.R.M Adipati Ario Samingun Sosroningrat, yang kala itu (1881) menjabat sebagai wedana (bupati) di daerah Jepara, Jawa Tengah. Macan mengaum dalam kurungan tersebut tak lain adalah Kartini sendiri, yang saat itu sedang menjalani masa pingitan. Sementara bola di dalamnya menggambarkan ide dan pikirannya yang bergulir bebas. Melalui simbolisasi Macan Kurung, Kartini ingin menyampaikan bahwa pingitan tidak bisa memenjarakan buah pikiran dan ide-idenya yang bebas bak burung yang terbang lepas. 

Meski dibuat lebih dari seabad lalu, gema 'auman' harimau yang terkurung itu masih terdengar hingga sekarang. Tidak secara harfiah, tetapi melalui buah pikiran yang mengalir dalam lembar demi lembar tulisan tangan Kartini kepada para sahabatnya di Eropa. Gagasan Kartini ini tak hanya membuat para sahabat ekspatriatnya menaruh hormat, tetapi juga menjadi sumber inspirasi bagi kaumnya di Indonesia dari masa ke masa.

Dirgahayu wanita Indonesia! 


“Kami akan menggoyahkan gedung feodalisme itu 
dengan segala tenaga yang ada pada kami. 
Dan, andaikata hanya ada satu potong batu yang jatuh, 
kami akan menganggap hidup kami tidak sia-sia....”
(R.A. Kartini, 1900)




**Tulisan ini adalah kisah perjalanan saya saat menapak tilas jejak perjalanan hidup Raden Ajeng Kartini di Rembang dan Jepara sebagai salah satu bagian dalam edisi Kartini di majalah femina di tahun 2009. 

Belajar Dari Jagung

Kisah ini saya tulis sebagai kenangan sekaligus ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada kakak saya, Teguh dan istrinya Caec...