"Sebodoh-bodohnya
keledai, ia tidak akan jatuh dua kali ke dalam lubang yang sama."
Kita tentu
akrab dengan peribahasa di atas. Jika keledai yang bodoh saja bisa
belajar untuk tidak mengulang kesalahan yang sama, terlebih manusia yang
dikaruniai akal dan budi. Apakah pendapat ini sepenuhnya benar? Menurut saya, permasalahan terbesar kita sebagai
manusia sebenarnya tidak terletak pada kecakapan kognitif kita, tetapi pada
rendahnya keinginan untuk belajar.
Belajar tidak berhenti pada tahapan tahu. Terkait dengan perumpamaan di atas, maka belajar tidak cukup pada tahu bahwa ada lubang yang harus dihindari. Tetapi, paham mengapa lubang tersebut harus dihindari, dan apa konsekuensinya jika kita terjatuh dua kali ke dalamnya? Belajar hampir selalu mengharuskan kita untuk melihat lebih dalam dan lebih detail lagi.
Dalam pemahaman yang lebih dalam, belajar merupakan proses berkelanjutan yang dilakukan secara sengaja untuk memperoleh pengetahuan, kecakapan, dan pengalaman baru ke arah yang lebih baik, termasuk di dalamnya tidak mengulang kesalahan yang sama. Jadi, di dalam proses belajar ada transformasi hidup. Setidaknya, demikianlah definisi belajar yang saya sarikan dari gabungan pendapat beberapa pemikir pendidikan, seperti Suryabrata (1991) dan Witherington (1952).
Dalam pemahaman yang lebih dalam, belajar merupakan proses berkelanjutan yang dilakukan secara sengaja untuk memperoleh pengetahuan, kecakapan, dan pengalaman baru ke arah yang lebih baik, termasuk di dalamnya tidak mengulang kesalahan yang sama. Jadi, di dalam proses belajar ada transformasi hidup. Setidaknya, demikianlah definisi belajar yang saya sarikan dari gabungan pendapat beberapa pemikir pendidikan, seperti Suryabrata (1991) dan Witherington (1952).
Pertanyaannya,
apa yang membuat orang malas belajar? Disadari atau tidak, pengaruh budaya
serba instan telah membangun pola berpikir dan bertindak yang serba cepat
juga. Ini yang membuat orang tidak terlalu suka, atau bahkan mengabaikan proses. Dari sudut pandang teori pembelajaran menurut Noel Burch, belajar adalah tahapan dari kita yang awalnya tidak sadar dan tidak tahu, menjadi sadar bahwa kita tidak tahu, kemudian menjadi tahu dan paham bagaimana mengaplikasikan atau mendaratkan pengetahuan tersebut di dalam konteks kehidupan, hingga akhirnya dapat menguasai suatu topik atau kompetensi tersebut dan mampu meneruskannya kepada orang lain.
Tentu proses belajar seperti di atas membutuhkan waktu. Masalahnya, budaya instan membuat orang tidak sabar, dan memutuskan untuk puas dengan "sekadar tahu". Alhasil, banyak orang terjebak dalam berbagai asumsi subjektif tak berdasar saat menyikapi sesuatu. Celakanya lagi, berbekal pengetahuan yang hanya bersifat permukaan ini, seseorang berani mengambil suatu keputusan penting.
Tentu proses belajar seperti di atas membutuhkan waktu. Masalahnya, budaya instan membuat orang tidak sabar, dan memutuskan untuk puas dengan "sekadar tahu". Alhasil, banyak orang terjebak dalam berbagai asumsi subjektif tak berdasar saat menyikapi sesuatu. Celakanya lagi, berbekal pengetahuan yang hanya bersifat permukaan ini, seseorang berani mengambil suatu keputusan penting.
Budaya
berpikir instan ini tumbuh subur di era media sosial seperti sekarang. Orang
saling berlomba menjadi yang pertama dalam berpendapat. Tidak jarang, lontaran
reaksi dan opini ini hanya dipicu oleh sebaris status orang tak dikenal, tanpa
tahu duduk permasalahan yang sesungguhnya. Sama seperti orang yang berkomentar ngawur
tanpa konteks tentang suatu topik hanya berbekal membaca tajuk pemberitaan.
Parahnya
lagi, oleh dukungan netizen yang
menjadi follower setia, suatu opini
yang tidak jelas objektivitasnya ini bisa menjadi viral dan memengaruhi opini
publik. Tidak heran, jika dalam kondisi seperti ini kebenaran menjadi sangat relatif,
bergantung pada kelompok pendukung yang mana. Kita mengenalnya dengan istilah post truth.
Mereka yang
enggan belajar akan mudah diombang-ambingkan berbagai angin pengajaran, baik yang
ekstrem kanan ataupun ekstrem kiri. Akibatnya, sulit bagi mereka untuk menentukan
mana yang baik atau tidak baik, dan mana yang bermanfaat bagi kemaslahatan
bersama, atau yang justru membawa menuju kehancuran.
Sebagai seorang pembelajar, kita harus mengembangkan budaya berpikir kritis dan ilmiah, yang memahami, dan menguji berbagai isu yang sedang berkembang di tengah lingkungan sosial dan masyarakat. Hal ini sulit terpenuhi jika kita tidak terlebih dahulu diisi dan mengisi diri dengan berbagai materi pembelajaran terkait. Apakah itu melalui buku-buku, kuliah umum, pemberitaan media massa terpercaya, maupun dari hasil forum diskusi yang ada.
Namun, hanya mengandalkan kognisi tanpa afeksi juga akan membawa seseorang pada hasil pembelajaran yang timpang. Di era post truth yang hanya mementingkan ego kelompok seperti sekarang, sisi afeksi ini bisa ditumbuhkan melalui sebuah kesadaran bahwa ada kontrak sosial dalam kehidupan kita, di mana kita saling berbagi ruang hidup, ruang publik, ruang berpendapat, ruang ekspresi, dan banyak lagi. Kesadaran hidup berkomunitas ini yang membuat kita dapat saling menghargai dan menghormati dalam keberagaman.
Semua ini lagi-lagi berujung pada proses yang dalam dinamikanya bisa memunculkan banyak tantangan. Bagaimanapun, sebagai seorang pembelajar, kita dituntut untuk setia di dalamnya. Mendorong diri untuk terus belajar dalam mentalitas bahwa kita “belum mencapai garis final” dalam
pembelajaran kehidupan ini. Namun, di antara semua itu, seorang pembelajar harus
dapat membawa pembelajarannya ke dalam konteks kehidupan sehari-hari. Sebab,
hanya dengan melakukan apa yang ia pelajari, transformasi bisa terjadi.