Friday, 17 April 2009

Siang Itu Di Toilet...


Senyum mengembang dari wajahnya yang kecoklatan. Usianya mungkin tak lebih muda dari tante saya, sekitar 37 atau 38. “Mau pakai ya Bu? Sebentar ya, saya lap dulu,“ sapanya sopan kepada salah satu pengunjung. Setelah selesai melakukan tugasnya ia segera keluar, dan dengan badan sedikit membungkuk ia mempersilakan si Ibu untuk memakai toilet. Saya yang menyaksikan adegan itu dari kaca washtafel hanya bisa takjub.

Baru kali ini – di sepanjang sejarah hidup saya di Jakarta – ada petugas cleaning service toilet yang seramah dan segembira ibu tadi. Dengan cekatan, ia mengganti tisu dan mempersilakan para pengunjung mal yang sudah tidak tahan memenuhi ‘panggilan alam’. Wajahnya nyaris tak pernah lepas dari senyuman. Hebatnya lagi, ia melayani setiap orang yang datang ke toilet layaknya tamu istimewa! Ck..ck..ck…benar-benar pemandangan yang luaarrr biasa!

Katanya, senyuman yang keluar dari hati yang tulus itu menular. Benar saja, tak lama setelah melihat senyumnya, seperti ditarik oleh kekuatan magnet dari kedua arah, tiba-tiba saya merasakan kedua sudut bibir saya menyunggingkan senyum! Hahahaha…padahal, saat itu saya sedang bete berat karena rencana untuk membeli baju baru gagal gara-gara harga yang selangit! Mungkin saya salah pilih tempat.

Anyway, by the way,…kembali ke topik awal…Karena masih penasaran dengan pelayanan si Ibu, saya jadi agak berlama-lama di situ. Entah kenapa, hampir ¾ hati saya protes dengan pemandangan ini. Kenapa ya, dia bisa segembira itu? Jangan-jangan dia hanya melakukan itu untuk orang-orang tertentu saja?

Ternyata dugaan saya salah! Servis itu diberlakukannya kepada setiap orang yang datang. Atau...jangan-jangan si Ibu sedang naik gaji, atau…dia akhirnya dipromosikan ke tempat lain. Waduh, teteup, deh! Pokoknya, saya terus mencari-cari alasan logis bagi tindakannya yang menurut saya ajaib itu.

Saya tahu kok, saya bukan lah satu-satunya yang merasa heran dengan keceriaan dan keramahan si Ibu cleaning service, para pengunjung yang lain juga merasakan hal yang sama. Dan ini bisa terlihat jelas dari ekspresi dan tingkah mereka, mulai dari yang mencuri-curi padang, hingga yang mengamat-amati dari kaca. Persis seperti apa yang sedang saya lakukan saat itu.

Takut dikira “kelainan” gara-gara kelamaan berdiri di depan kaca, akhirnya dengan berat hati saya beranjak pergi. Sekali lagi, untuk terakhir kalinya, saya melayangkan pandang pada si Ibu. Ia sedang sibuk menenteng kain lap dan cairan pembersih di kedua tangannya. Wajahnya tetap dihiasi senyuman. Saya kembali tersenyum, dan berlalu.

Sumpah, saya iri bukan main kepada si Ibu! Karena saya tahu benar, senyuman setulus itu tidak bisa dibuat-buat, dan hanya dapat keluar dari hati yang dipenuhi ucapan syukur. Semangatnya, profesionalismenya, keceriaannya, merupakan gambaran rasa syukur terhadap pekerjaan yang dipercayakan padanya.

Seorang cleaning service! Sudah pasti pendapatannya tak sepadan dengan para pengunjung mal yang setiap hari ‘berkunjung’ di wilayah kerjanya. Dan sudah barang tentu ia pernah berurusan dengan ‘limbah’ manusia yang tidak sukses terguyur. Oh No! Tak heran jika saya sering bertemu dan melihat wajah-wajah murung serta tatapan kosong para petugas cleaning service lain di setiap mal yang pernah saya kunjungi.

Sepanjang perjalanan pulang, saya terus merenungkan fenomena tadi. Tiba-tiba saya diingatkan kepada salah satu tokoh alkitab, yaitu Yusuf. Tadinya, ia juga seorang pelayanan yang bekerja pada orang kepercayaan Firaun di Mesir. Ia hanya budak belian! Namun demikian, ia sangat menghargai profesi yang dipercayakan Tuhan kepadanya. Ia mengerjakan setiap tugasnya dengan sepenuh hati, dan dengan tanggung jawab yang tinggi. Tak heran jika sang tuan sangat mengasihinya dan mempercayakan seluruh isi rumahnya pada Yusuf.

Bagaimana kelanjutan nasib si budak belian? Ia menjadi salah satu penguasa di Mesir, bahkan Allah berkenan untuk memakai Yusuf menjadi saluran berkat bagi bangsa Israel, termasuk ayah dan saudara-saudaranya, yang tertimpa bencana kelaparan akibat kemarau panjang. Padahal, kakak-kakaknya telah mencurangi Yusuf, dan menjualnya sebagai budak karena rasa iri.

Namun, ujian hidup yang berat ini tidak membuat Yusuf pahit hati. Kasih setia dan imannya pada Allah pun tidak pernah surut. Ia percaya, bahwa setiap peristiwa yang diizinkan Allah terjadi dalam hidupnya, tak lain hanya untuk kebaikan dirinya. “Kemurnian emas diuji oleh api. Kemurnian hati manusia diuji oleh berbagai pencobaan hidup yang dialaminya.”

Kejadian di toilet siang itu memunculkan sebuah pertanyaan di benak saya. Seperti Ibu itu, sudahkah saya mengungkapkan rasa syukur atas perkerjaan yang dipercayakan Allah kepada saya? Terkadang, mungkin pernah, lewat mulut, dan itu pun kalau saya tidak segera tewas tertidur karena kelelahan. Tapi…sudah kah rasa syukur itu tercermin melalui setiap tanggung jawab yang dibebankan pada saya? Dan apakah setiap karya yang saya buat dapat mendatangkan berkat bagi orang lain – membuat mereka memandang kepada Allah sebagai Penyebab Pertama, Sang Causa Prima?

Saya yakin, bukan saya saja yang diberkati oleh pelayanan yang dilakukan oleh si Ibu cleaning service tadi. Selain nilai ketulusan dan profesionalitas, ia juga mengajarkan senjata survival di ganasnya dunia: selalu bersyukur & tersenyum. Yang disebut belakangan, juga terbukti ampuh menaikkan poin penampilan! Kalau dua-duanya gratis, apa salahnya dicoba?

A Smile is A Curve That Straightens Most Things – Bass Clef

No comments:

Post a Comment

Belajar Dari Jagung

Kisah ini saya tulis sebagai kenangan sekaligus ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada kakak saya, Teguh dan istrinya Caec...