Suddenly
a wave of memory washed over me...I remember this day, some years ago. I
was crying alone, broken heartache, when suddenly my phone rang. It was
my Dad. I picked up the phone and trying to swallow my sadness with a
"Hello" when out of the blue my Dad answered me by singing this song
from ABBA...
"I have a dream, a song to sing...
To help me cope with anything
If you see the wonder of a fairy tale
You can take the future even if you fail
I believe in angels, something good in everything I see
I believe in angels, when I know the time is right for me
I cross the stream, I have a dream..."
With this, I broke myself into tears...and my Dad said, "There will be
time for everything. Embrace every moment, but do not let yourself
overwhelmed with problems. Because soon there will come the season of
happiness, and you will be given strength to comprehend all the things that once are seems to be hard to understand. Give thanks always, and forget not to smile...I'm here for
you..."
Thank you God for blessing me with my Dad. Dad, you're always be
in my heart...
Hidup itu seperti belajar berenang. Kemampuan pertama yang harus dikuasai adalah mengapung. Easier said than done! Makanya, saya masih belajar ;)
Wednesday, 11 December 2013
Monday, 14 October 2013
K-A-N-G-E-N
Tak hendak bernyanyi
Pun ketika rindu teriras pagi
Pergi mimpi tak bertepi
(Office 17.09.13.11:05)
Tuesday, 1 October 2013
Dearest Zelda...
"Or don't you like to write letters. I do because it’s such a swell way to keep from working and yet feel you’ve done something." -- Ernest Hemingway to Scott Fitzgerald.
Little that Hemingway knew, Scott is good at writing one. This one small part of his letter to his wife Zelda Sayre, who's been hospitalized for her schizophrenia, will do the tell...
To Zelda:
You and I have been happy; we haven't been happy just once, we've been happy a thousand times. The chances that the spring, that's for everyone, like in the popular songs, may belong to us too -- the chances are pretty bright at this time because as usual, I can carry most of contemporary literary opinion, liquidated, in the hollow of my hand -- and when I do, I see the swan floating on it and -- I find it to be you and you only.
But swan, float lightly because you are a swan, because by the exquisite curve of your neck the gods gave you some special favor, and even though you fracture it running against some man-made bridge, it healed and you sailed onward.
Forget the past -- what you can of it, and turn about and swim back home to me, to your haven for ever and ever -- even though it may seem a dark cave at times and lit with torches of fury; it is the best refuge for you -- turn gently in the waters through which you move and sail back.
--------------------------
My Note: I personally love those three paragraphs best. It's about getting the best from letting go of the past. It's about that question of "It’s easy to walk away, but what if you stay?"
What would you say...?
Tuesday, 17 September 2013
LOVE IS...
"Love is not breathlessness,
it is not excitement,
it is not promises of eternal passion,
it is not the desire to mate every second minute of the day,
it is not lying awake at night imagining that he is kissing every cranny of your body.
No, don’t blush. I am telling you some truths.
That is just being “in love” which any fool can do.
Love itself is what is left over when being in love has burned away….
Your mother and I had it, we had roots that grew towards each other underground,
and when all the pretty blossoms had fallen from the branches,
we found that we were one tree and not two."
De Bernières, a widowed father to his daughter in the novel Corelli’s Mandolin (1994)
De Bernières, a widowed father to his daughter in the novel Corelli’s Mandolin (1994)
Tuesday, 28 May 2013
FILM: LAURA & MARSHA
ANTARA CINTA, PERSAHABATAN & LUKA MASA LALU
Petualangan Laura (Prisia Nasution) bermula dari sepucuk
kartu pos berlukiskan arena teater kuno Piazza Bra, di Verona, Italia. Alasan
utamanya untuk mengiyakan ajakan sahabatnya Marsha (Adiania Wirasti) untuk berkelana ke benua Eropa dilatari misi
pribadi. Ia ingin memastikan hati bahwa sekian tahun penantiannya yang setia
terhadap Ryan, suaminya, akan berujung pada bahagia. Terutama, untuk Luna,
putri semata wayang mereka yang selama ini harus puas merasakan perhatian
ayahnya melalui kado-kado yang dikirimkan melalui pos.
Amsterdam – Bruhl – Innsbruck –
Verona – Venice. Perjalanan dua sahabat bertolak belakang karakter ini sarat adegan perselisihan yang menggemaskan. Laura yang serba terencana dibuat
kesal oleh sifat Marsha yang hobi ‘berimprovisasi’: terlambat dari schedule karena telat bangun, sampai
memberi tumpangan pada pria asing bernama Finn dalam perjalanan mereka ke
Jerman. Kecerobohan Marsha membuahkan petualangan di luar rencana: tersesat di hutan,
dikejar segerombolan pria haus wanita, hingga harus menjadi pekerja ilegal
karena kehilangan paspor dan dompet!
Hilangnya
kepercayaan, rasa marah, dan kecewa di antara Laura dan Marsha berujung pada
konflik hebat. Setelah saling tuding dan membongkar luka lama, keduanya
memutuskan untuk berpisah. Padahal, petualangan di luar rencana akibat ulah
Marsha, termasuk keberadaan Finn, sebenarnya mendekatkan Laura pada Ryan. Tanpa
Marsha, mampukah Laura menggapai misinya? Di sisi lain, tanpa Laura, mampukah
Marsha berdamai dengan kenyataan pahit yang selama ini dipendamnya seorang
diri?
Road movie yang merupakan film besutan sutradara muda debutan Dinna Jasanti ini berhasil
menghilangkan kebosanan tema relationship,
yang selama ini didominasi oleh roman cengeng. “Sebagai wanita saya tahu
bahwa ada banyak tahapan permasalahan dalam hidup wanita yang belum banyak
dikulik dalam film. Saya ingin mengekplorasi sisi relationship dalam kehidupan wanita yang tidak kalah kompleks dengan
cerita relationship yang hanya fokus
pada hubungan pria dan wanita,” papar Dinna, yang pernah memproduseri film
Karma (2008), Under the Tree (2008),
dan The Land of Five Towers (2011).
Latar
belakang sebagai produser, menurut Dinna sangat membantu dalam menggarap film
yang dibuat dalam jadwal dan budget yang cukup ketat. “Dengan waktu syuting 15
hari plus perjalanan, total syuting di luar negeri selesai dalam waktu tiga
minggu. Dan dengan hanya mengandalkan 13 kru (termasuk dua bintang utama),”
terang produser Leni Lolang dari
Inno Maleo Films.
Meski
hanya mengeksplorasi dua karakter, yaitu Laura dan Marsha, tapi kedalaman
karakter yang dibungkus dalam akting yang natural, pemilihan setting, serta kekuatan jalan cerita
yang tidak tertebak hingga akhirnya membuat film berdurasi -- menit ini kaya! Uniknya
lagi, meski sebagian besar setting film berada di luar negeri, tapi sang
penulis skenarionya sendiri, yaitu Titien
Watimena, belum pernah menginjakkan kaki di benua itu.
“Umar
Kayam juga belum pernah menginjakkan kaki di New York saat menulis Seribu
Kunang-Kunang di Manhattan. Saya hanya mengandalkan riset di internet dan
buku-buku yang saya baca,” ungkap Titien, yang juga tidak mengikuti proses syuting
di luar negeri. Namun, hal ini tidak menjadi penghalang baginya untuk memvisualisasikan
keindahan benua Eropa yang terwakili dengan baik melalui pemilihan kelima kota
tujuan. Inspiratif dan segar, karena penonton dapat menyaksikan sudut lain dari
kelima kota tersebut, yang cukup menarik untuk dieksplorasi oleh mereka yang gemar bertualang. (Foto: Dok. Inno Maleo)
**merupakan versi penuh dari artikel yang tayang di www.femina.co.id
Subscribe to:
Posts (Atom)
Belajar Dari Jagung
Kisah ini saya tulis sebagai kenangan sekaligus ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada kakak saya, Teguh dan istrinya Caec...
-
Menikmati Harmoni Alam di Jantung Pedalaman Kalimantan Barat Heaven on earth . Kesan ini layak ditujukan pada kecant...
-
"Mendengar 'auman' Kartini dalam simbolisasi Macan Kurung" Tak hanya diabadikan sebagai nama jalan raya, jejak ...
-
Vatadage Penggemar epos Ramayana mengenalnya dengan sebutan Alengka, tempat Raja Rahwana menyekap Shinta, kekasih Rama. Sementara it...