Tuesday, 28 May 2013

FILM: LAURA & MARSHA

ANTARA CINTA, PERSAHABATAN & LUKA MASA LALU

Petualangan Laura (Prisia Nasution) bermula dari sepucuk kartu pos berlukiskan arena teater kuno Piazza Bra, di Verona, Italia. Alasan utamanya untuk mengiyakan ajakan sahabatnya Marsha (Adiania Wirasti) untuk berkelana ke benua Eropa dilatari misi pribadi. Ia ingin memastikan hati bahwa sekian tahun penantiannya yang setia terhadap Ryan, suaminya, akan berujung pada bahagia. Terutama, untuk Luna, putri semata wayang mereka yang selama ini harus puas merasakan perhatian ayahnya melalui kado-kado yang dikirimkan melalui pos.
Amsterdam – Bruhl – Innsbruck – Verona – Venice. Perjalanan dua sahabat bertolak belakang karakter ini sarat adegan perselisihan yang menggemaskan. Laura yang serba terencana dibuat kesal oleh sifat Marsha yang hobi ‘berimprovisasi’: terlambat dari schedule karena telat bangun, sampai memberi tumpangan pada pria asing bernama Finn dalam perjalanan mereka ke Jerman. Kecerobohan Marsha membuahkan petualangan di luar rencana: tersesat di hutan, dikejar segerombolan pria haus wanita, hingga harus menjadi pekerja ilegal karena kehilangan paspor dan dompet!
Hilangnya kepercayaan, rasa marah, dan kecewa di antara Laura dan Marsha berujung pada konflik hebat. Setelah saling tuding dan membongkar luka lama, keduanya memutuskan untuk berpisah. Padahal, petualangan di luar rencana akibat ulah Marsha, termasuk keberadaan Finn, sebenarnya mendekatkan Laura pada Ryan. Tanpa Marsha, mampukah Laura menggapai misinya? Di sisi lain, tanpa Laura, mampukah Marsha berdamai dengan kenyataan pahit yang selama ini dipendamnya seorang diri?
Road movie yang merupakan film besutan sutradara muda debutan Dinna Jasanti ini berhasil menghilangkan kebosanan tema relationship, yang selama ini didominasi oleh roman cengeng. “Sebagai wanita saya tahu bahwa ada banyak tahapan permasalahan dalam hidup wanita yang belum banyak dikulik dalam film. Saya ingin mengekplorasi sisi relationship dalam kehidupan wanita yang tidak kalah kompleks dengan cerita relationship yang hanya fokus pada hubungan pria dan wanita,” papar Dinna, yang pernah memproduseri film Karma (2008), Under the Tree (2008), dan The Land of Five Towers (2011).
Latar belakang sebagai produser, menurut Dinna sangat membantu dalam menggarap film yang dibuat dalam jadwal dan budget yang cukup ketat. “Dengan waktu syuting 15 hari plus perjalanan, total syuting di luar negeri selesai dalam waktu tiga minggu. Dan dengan hanya mengandalkan 13 kru (termasuk dua bintang utama),” terang produser Leni Lolang dari Inno Maleo Films.
Meski hanya mengeksplorasi dua karakter, yaitu Laura dan Marsha, tapi kedalaman karakter yang dibungkus dalam akting yang natural, pemilihan setting, serta kekuatan jalan cerita yang tidak tertebak hingga akhirnya membuat film berdurasi -- menit ini kaya! Uniknya lagi, meski sebagian besar setting film berada di luar negeri, tapi sang penulis skenarionya sendiri, yaitu Titien Watimena, belum pernah menginjakkan kaki di benua itu. 
“Umar Kayam juga belum pernah menginjakkan kaki di New York saat menulis Seribu Kunang-Kunang di Manhattan. Saya hanya mengandalkan riset di internet dan buku-buku yang saya baca,” ungkap Titien, yang juga tidak mengikuti proses syuting di luar negeri. Namun, hal ini tidak menjadi penghalang baginya untuk memvisualisasikan keindahan benua Eropa yang terwakili dengan baik melalui pemilihan kelima kota tujuan. Inspiratif dan segar, karena penonton dapat menyaksikan sudut lain dari kelima kota tersebut, yang cukup menarik untuk dieksplorasi oleh mereka yang gemar bertualang. (Foto: Dok. Inno Maleo)  

 **merupakan versi penuh dari artikel yang tayang di www.femina.co.id

No comments:

Post a Comment

Belajar Dari Jagung

Kisah ini saya tulis sebagai kenangan sekaligus ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada kakak saya, Teguh dan istrinya Caec...