Pagi itu, dari balik kaca ruang ICU Rumah Sakit Katolik Panti Waluya, Malang, saya mengamati Papa yang terbaring lemas di atas ranjang. Banyak selang terpasang di tubuhnya, di tangan, di hidung, dan di pinggang. Kulit wajahnya menghitam, tapi rautnya pucat. Papa...
Dulu...kedua lengan yang kurus itu kuat menopang saya dan kakak saya, memanggul kami di bahunya yang kokoh. Dulu, lengan yang sama berubah menjadi "ular sanca" dan selalu berhasil membuat saya dan kakak saya tertawa terpingkal-pingkal oleh gelitikannya, hingga akhirnya kami berdua kecapekan dan tertidur pulas. Strategi Papa untuk membuat kami tidur siang ini lumayan berhasil.
Dulu...kedua tangan itu yang setiap Minggu kami tunggu dengan beragam olahan spesial -- ayam goreng kecap, ayam goreng mentega, bistik daging gulung isi telur, sampai karedok! Dulu, tangan-tangan itu juga yang rajin membuatkan mainan kereta, kapal, atau mobil-mobilan dari sisa kulit jeruk Bali yang tebal...Atau...suaranya yang berubah-ubah lucu sesuai karakter tokoh saat membacakan buku petualangan Tintin atau dongeng anak lainnya, sebagai penghantar tidur anak-anaknya. Koleksi cerita yang menghidupkan imajinasi anak-anak saya, dan menghantarkan saya pada kecintaan menulis.
Papa...ucapan itu meluncur dari bibir saya lirih, tercekat lemah di antara tenggorokan. Namun, bundel partikel semesta menghantarkan suara lirih saya, menembus dinding kaca ICU yang tebal itu, sehingga di saat yang sama membangunkan sosok pria yang seumur hidup kami, tidak hanya menjadi seorang ayah yang baik, tapi juga sahabat terdekat bagi anak-anaknya. Pandangan kami bertemu. Saya menguatkan diri untuk menelan bulat-bulat sedih dan air mata. Saya harus tegar untuk dia.
Jubah pasien warna telur asin itu terlihat begitu longgar di tubuh Papa yang kurus. Tangannya terasa kering dan bersisik di ujung jemari saya.Tapi kedua matanya tetap menyorotkan kehangatan, dan kasih. Papa tersenyum. Dia tahu, kesedihan saya, dia tahun kesedihannya sendiri...waktu kami mungkin tidak cukup lama...Tiba-tiba air matanya merebak di pelupuk mata, bahunya berguncang oleh tangis. Saya genggam tangannya erat. Lirih, terdengar nyanyiannya...
"Ku berserah kepada Allahku
di darat pun di laut menderu.
Tiap detik tak berhenti,
Bapa sorgawi t’rus menjagaku.
‘Ku tahu benar ‘ku dipegang erat,
di gunung tinggi dan samudera;
di taufan g’lap ‘ku didekap.
Bapa sorgawi t’rus menjagaku...
Dengan suara serak, saya ikut bernyanyi dengannya. Saya ingat, ini adalah lagu kesayangan Papa, yang selalu dinyanyikannya kepada saya lewat telepon, saat ia tahu bahwa ada masalah yang membuat saya gundah. Saya heran, meski kami terpisah jarak, saya bekerja di Jakarta dan Papa di Malang, ia selalu tahu kalau anak perempuannya ini sedang punya masalah. Tali batin spesial antara anak dan Bapak yang bekerja dengan kecepatan melebihi jaringan broadband manapun buatan manusia ini yang selalu menghubungkan kami. Silih berganti kenangan itu datang bagai putaran slide film.
Selesai menyanyi, masih dengan air mata berlinang, Papa bertanya pada saya..."Papa nggak akan jalan sendirian, kan Non?" tanya Papa, menyebut nama panggilan kesayangan saya. Matanya, berbinar penuh harap. "Tuhan akan pegang tangan Papa, kan?" tanyanya lagi. Saya mengangguk yakin, dan melihat senyum mengembang di wajahnya. "Ya, Papa tidak akan sendirian. Tuhan akan pegang tangan Papa, seperti janjiNYA" jawab saya, setengah mati berusaha mengeluarkan suara yang berhenti di kerongkongan.
Jumat, 12 April 2013, pukul 20:00, di Malang, Papa pulang ke Rumah Yang Baka... Tak ada lagi dering telepon, atau cerita-cerita seru darinya. Meski, di banyak kesempatan, saya masih suka lupa menghubungi nomor ponselnya, sekadar untuk bercerita. Namun, suara lembutnya saat bernyanyi masih jelas terdengar di telinga saya, mengalun di saat-saat tantangan hidup mulai menekan....
‘Ku tahu benar ‘ku dipegang erat,
di gunung tinggi dan samudera;
di taufan g’lap ‘ku didekap.
Bapa sorgawi t’rus menjagaku...
Jakarta.Office.02112016.14:34
I miss you Dad...Always!
No comments:
Post a Comment