Monday, 20 October 2014

Indonesia Punya Presiden Baru!

Image by <a href="https://pixabay.com/users/ibnuamaru-3048398/?utm_source=link-attribution&amp;utm_medium=referral&amp;utm_campaign=image&amp;utm_content=1573943">ibnuamaru</a> from <a href="https://pixabay.com/?utm_source=link-attribution&amp;utm_medium=referral&amp;utm_campaign=image&amp;utm_content=1573943">Pixabay</a>



Siang tadi memutuskan untuk menjadi saksi sejarah baru Indonesia di bawah kepemimpinan Joko Widodo & Jusuf Kalla, langsung dari lokasi pemberangkatan arak-arakan kereta kencana di Bunderan Hotel Indonesia. Dapat posisi tepat di samping kereta yang akan mengangkut Jokowi. Serasa wartawan militan, saya berpuas diri. Belakangan baru saya sadari, ini menjadi hal paling konyol yang pernah saya lakukan!

Setelah 1 jam menanti, akhirnya Pak Presiden datang juga. Dan seiring dengan itu, kerumunan massa mulai dorong mendorong dalam pola gelombang tidal. Seorang Bapak melarang saya keluar dari kerumunan.

"Jangan keluar Mba, nanti malah terseret, jatuh dan terinjak. Ikut arus saja, jangan melawan. Nanti tergencet"

Bapak yang baik hati itu memegang tubuh saya untuk melindungi dari dorongan massa.

Sejenak kemudian Jokowi terlihat berdiri di atas kereta kencana, melambaikan tangannya.

"Mba...itu Jokowi Mba...Lihat kan?? Itu Jokowi!! Heiii Jokowiii!!!" teriak Sang Bapak, sejenak melepaskan pegangannya untuk melambaikan tangan kepada Presiden baru.

Jujur, di saat itu, melihat Jokowi menjadi hal terakhir yang terlintas di benak saya! Satu saja yang saya mau saat itu, keluar dari jebakan mau massa yang menggila. Sore ini, saya memilih untuk memantau #SyukuranRakyat lewat layar kaca saja. Santai, nyaman, ditemani segelas es teh manis segar.

Tiba-tiba, saya jadi teringat obrolan singkat saya dengan seoang sopir bajaj pagi ini. Iseng saya bertanya padanya...

"Bang, nggak ke Monas ikut pestanya Jokowi?"

"Ah, nggak Neng. Saya mah cuma rakyat kecil. Yang penting bisa nyari sekilo buat hari ini."

---- langsung hening

Pekerjaan rumah Pak Presiden sudah menumpuk. Selesaikan satu-satu ya Pak, kami akan membantu!

Selamat bertugas #PresidenJokowi !!

"Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani." -- di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat dan di belakang memberikan daya kekuatan. Rahayu #IndonesiaBaru !

Tuesday, 7 October 2014

Jogja, Pak Basiyo & Sate Gajah Mbah Iman

Di rumah Si Mbah, masih bisa merasakan dinginnya bumi bergesek dengan telapak kaki.

Hari ini Yogyakarta memasuki usianya yang ke-258. Tulisan ini dibuat untuk mengenang kota yang selalu membuat saya kangen untuk pulang. Banyak hal telah berubah. Mulai dari toko Gardena di Jalan Solo yang menjadi semacam mal di era 80-an, sampai wajah Yogya yang mulai sesak dengan bangunan-bangunan berbadan gemuk, seperti mal-mal dan hotel di sana sini.

Dulu, saat masih di sekolah dasar, Yogya adalah "totem" sekaligus "oase" bagi jiwa kanak-kanak saya yang penuh petualangan. Berjalan berkilo-kilo melewati pematang sawah dari Berbah hingga Prambanan, mandi di sumber air jernih kompan, dan berjemur di pinggir rel kereta api sambil melambaikan pakaian ke arah penumpang kereta. Mencari cacing untuk umpan pancing, makan pepaya matang pohon di tengah kebun, membuat bola-bola dari selaput mulur daun wadhang, menyuluh ikan di malam hari dengan penerangan obor. Ahhh...masa-masa itu...

Kompan, kolam renang alami di belakang rumah Si Mbah.
Pagi harinya, kami sering nongkrong di pinggir jalan Yogya - Solo, menunggu rombongan riuh "geng" sepeda onthel dari para petani yang menunggu waktu tanam dengan mencari nafkah ke kota. Mereka ini akan lewat dalam formasi rombongan yang panjang seperti ekor burung sri gunting. Sambil lewat, mereka akan membunyikan bel sepeda dan menyanyi riang mengikuti sang "penghulu" yang mengayuh di paling depan. Hebohnya mirip parade marching band taruna angkatan udara Adisutjipto yang gaungnya terdengar sampai ke rumah Si Mbah. Begitu mereka lewat, kami akan menyambut dengan melambaikan tangan, persis seperti penduduk yang menyambut pahlawan pulang perang.

Sekarang, para petani yang mengisi waktu bekerja di kota saat menanti musim tanam padi itu justru sudah banyak yang benar-benar meninggalkan ladangnya. Menjual tanah yang tadinya berumpun padi itu menjadi rumah-rumah beton yang halamannya disemen. Jelek sekali! Sepeda onthel pun berganti dengan motor beragam merek, yang menghamburkan napas bau dan hitam dari knalpotnya. Hhhhh...sedih. Memang ada yang harus dikorbankan dalam pembangunan, tapi tidak menyangka akan sejauh ini jadinya... 

Courtesy of kenanganjadul.wordpress.com
Ada banyak lagi yang saya kangen dari Yogya. Waktu kecil, Mbah Kakung sering mengoleh-olehi kami kaset dagelan Jawa super kocak Pak Basiyo yang berkolaborasi dengan suara merdu sinden Nyi Tjondrolukito. Jadi, kalau anak kecil zaman sekarang tidur berninabobokan karya komposer Mozart, saya dan kakak saya laki-laki tidur dalam buaian pangkur Jenggleng.

Basiyo Mbarang dan Basiyo Gandrung adalah dua kaset kegemaran saya. Lantunan merdu sinden dan gamelan Jawa serta kekehan tawa Pak Basiyo menjadi pengobat rindu terhadap Jogja bagi kami. Sebab, kami lahir dan tumbuh di Jawa Timur. Namun, saya beruntung kembali ke Yogyakarta untuk merampungkan kuliah di Universitas Gadjah Mada, mengikuti jejak ibu saya yang juga alumni KAGAMA.

Selain Pak Basiyo,  saya juga rindu sate gadjah Mbah Iman. Saya selalu tahu kapan Mbah Iman lewat, karena rombongnya membuat bebunyian "krempyeng-krempyeng" saat  di depan rumah Si Mbah di Berbah, Yogyakarta.

Bukan sate dari daging gajah, lho. Dan sejak kecil saya juga heran kenapa sate Mbah Iman disebut sate gadjah. Rupanya, karena daging yang ditusukkan di ruas bambu itu ukurannya besar-besar dan melebar, mirip telinga gajah. Sate Mbah Iman memang bukan sate ayam, tapi sate daging sapi.

Sate ini punya cita rasa yang legit, dengan jejak
sensasi ketumbar, bawang, dan manis gula jawa. Ketika dibakar menguarkan aroma yang membuat siapapun berjalan mendekat dan laparrr.

Ada lagi yang unik, selain bumbu kacang yang ditumbuk kasar, sate ini juga disiram dengan sayur tempe berkuah santan yang kaya bumbu dan pedas! Ditemani irisan ketupat, rasanya total di hati dan di lidah!

Dengar-dengar Mbah Iman sudah meninggal, dan usahanya dipasrahkan kepada anak cucunya. Terakhir makan, mereka tidak lagi berjualan keliling, tapi mangkal di pinggiran jalur lambat jalan Jogja-Solo, dekat daerah kantor Kedaulatan Rakyat. Tapi itu dulu, di akhir tahun 90-an. Sekarang sudah tidak saya temukan lagi jejak mereka...Aaakkkkkhhhh.....kangen Yogyaaaa....Yogya yang dulu.... *SIGH

Belajar Dari Jagung

Kisah ini saya tulis sebagai kenangan sekaligus ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada kakak saya, Teguh dan istrinya Caec...