Di rumah Si Mbah, masih bisa merasakan dinginnya bumi bergesek dengan telapak kaki. |
Hari ini Yogyakarta memasuki usianya yang ke-258. Tulisan ini dibuat untuk mengenang kota yang selalu membuat saya kangen untuk pulang. Banyak hal telah berubah. Mulai dari toko Gardena di Jalan Solo yang menjadi semacam mal di era 80-an, sampai wajah Yogya yang mulai sesak dengan bangunan-bangunan berbadan gemuk, seperti mal-mal dan hotel di sana sini.
Dulu, saat masih di sekolah dasar, Yogya adalah "totem" sekaligus "oase" bagi jiwa kanak-kanak saya yang penuh petualangan. Berjalan berkilo-kilo melewati pematang sawah dari Berbah hingga Prambanan, mandi di sumber air jernih kompan, dan berjemur di pinggir rel kereta api sambil melambaikan pakaian ke arah penumpang kereta. Mencari cacing untuk umpan pancing, makan pepaya matang pohon di tengah kebun, membuat bola-bola dari selaput mulur daun wadhang, menyuluh ikan di malam hari dengan penerangan obor. Ahhh...masa-masa itu...
Kompan, kolam renang alami di belakang rumah Si Mbah. |
Sekarang, para petani yang mengisi waktu bekerja di kota saat menanti musim tanam padi itu justru sudah banyak yang benar-benar meninggalkan ladangnya. Menjual tanah yang tadinya berumpun padi itu menjadi rumah-rumah beton yang halamannya disemen. Jelek sekali! Sepeda onthel pun berganti dengan motor beragam merek, yang menghamburkan napas bau dan hitam dari knalpotnya. Hhhhh...sedih. Memang ada yang harus dikorbankan dalam pembangunan, tapi tidak menyangka akan sejauh ini jadinya...
Courtesy of kenanganjadul.wordpress.com |
Basiyo Mbarang dan Basiyo Gandrung adalah dua kaset kegemaran saya. Lantunan merdu sinden dan gamelan Jawa serta kekehan tawa Pak Basiyo menjadi pengobat rindu terhadap Jogja bagi kami. Sebab, kami lahir dan tumbuh di Jawa Timur. Namun, saya beruntung kembali ke Yogyakarta untuk merampungkan kuliah di Universitas Gadjah Mada, mengikuti jejak ibu saya yang juga alumni KAGAMA.
Selain Pak Basiyo, saya juga rindu sate gadjah Mbah Iman. Saya selalu tahu kapan Mbah Iman lewat, karena rombongnya membuat bebunyian "krempyeng-krempyeng" saat di depan rumah Si Mbah di Berbah, Yogyakarta.
Bukan sate dari daging gajah, lho. Dan sejak kecil saya juga heran kenapa sate Mbah Iman disebut sate gadjah. Rupanya, karena daging yang ditusukkan di ruas bambu itu ukurannya besar-besar dan melebar, mirip telinga gajah. Sate Mbah Iman memang bukan sate ayam, tapi sate daging sapi.
Sate ini punya cita rasa yang legit, dengan jejak
sensasi ketumbar, bawang, dan manis gula jawa. Ketika dibakar menguarkan aroma yang membuat siapapun berjalan mendekat dan laparrr.
Dengar-dengar Mbah Iman sudah meninggal, dan usahanya dipasrahkan kepada anak cucunya. Terakhir makan, mereka tidak lagi berjualan keliling, tapi mangkal di pinggiran jalur lambat jalan Jogja-Solo, dekat daerah kantor Kedaulatan Rakyat. Tapi itu dulu, di akhir tahun 90-an. Sekarang sudah tidak saya temukan lagi jejak mereka...Aaakkkkkhhhh.....kangen Yogyaaaa....Yogya yang dulu.... *SIGH
mantep
ReplyDeleteMatur nuwun Mas Bayu Probo :)
ReplyDeletebaru tahu mbak non punya blog yg bagus banget. love it! kangen yogya juga jadinya gara2 baca artikel ini hiks..
ReplyDeleteHallooo...terima kasih buat apresiasinya. Semoga tulisan sederhana ini bisa jadi obat kangen, ya.. Kapan pulang ke Jogja? ^.^
Delete