Designed by Freepik |
Suatu hari, di jam makan pagi asrama, salah satu kakak tingkat yang baru saja kembali dari praktik satu tahun bercerita dengan semangat. Dia mengatakan bahwa di semester-semester awal, bersama seorang teman asrama, ia pernah berbuat “kenakalan”. Karena kelaparan, malam itu, ketika semua teman di asrama sudah terlelap tidur, mereka turun diam-diam untuk mengambil mie instan cup di warung kejujuran. Rupanya, bentuk ketidaktaatan ini ketahuan, sehingga mereka diwajibkan untuk membersihkan kamar mandi ruang makan selama seminggu penuh.
“Tadinya, saya pikir tidak akan berat, karena kami bisa melakukannya berdua. Ternyata, maksudnya masing-masing dari kami harus membersihkannya selama seminggu penuh! Astaga! Benar-benar kapok!!” ungkapnya, berapi-api.
Dapat dimengerti arti kata “kapok” yang diungkapkan kakak tingkat itu, sebab kami sama-sama menjalani sendiri padatnya jam kegiatan di sekolah, yang tidak hanya menguras pikiran, tapi juga menuntut tenaga dan stamina yang kuat. Terbayangkan, ketika semua mahasiswa yang lain dapat pulang beristirahat, mereka masih harus berjibaku menggosok kamar mandi yang telah seharian dipakai rekan-rekannya.
Cerita kakak tingkat ini kembali mencuat ketika saya belajar tentang teori belajar Behavioristik. Psikolog dan salah satu ilmuwan di Universitas Johns Hopkins, Thomas B. Roberts, dalam pengantar pembelajaran teori behavioristik mengungkap, bahwa nyaris semua perilaku manusia merupakan hasil dari pembelajaran. Setiap perilaku yang muncul merupakan respons dari berbagai stimulus yang diterima oleh individu tersebut. Dalam konteks belajar, maka stimulus adalah segala sesuatu yang diberikan guru kepada pembelajar. Sebaliknya, respons adalah reaksi atau tanggapan pembelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru.
Punishment, atau hukuman yang dialami oleh kakak tingkat saya tadi adalah salah satu bentuk penguatan atau reinforcement yang diberikan kepada naradidik dengan tujuan untuk mengubah perilakunya. Di mana naradidik mendapat konsekuensi yang tidak menyenangkan karena melakukan sesuatu, sebagai pembelajaran agar ia tidak lagi melakukannya.
Setelah saya amati, di era saya sekarang, ada beberapa reinforcement punishment yang diterapkan sekolah, terkait kegiatan belajar dan berasrama. Di antaranya, sanksi cuci piring bagi mereka yang terlambat datang di kegiatan olah raga bersama tanpa keterangan yang jelas. Ada juga denda untuk mereka yang terlambat tiba di ruang makan di jam seharusnya (pukul 06:55 WIB untuk makan pagi, dan 18:30 WIB untuk makan malam). Mereka harus membayar denda Rp10.000 jika terlambat makan pagi dan Rp15.000 jika terlambat makan malam. Jumlah ini cukup signifikan bagi mahasiswa asrama yang bergantung pada uang bulanan dari donor, atau biaya kiriman bulanan dari orang tua. Tentu, kita tidak ingin hasil jerih payah orang yang membiayai pendidikan kita ini terbuang akibat kebodohan kita sendiri.
Namun, tidak hanya bentuk reinforcement berupa hukuman yang kami temui di sekolah. Tidak sedikit juga reinforcement positif, berupa apresiasi sebagai penambah semangat belajar. Di antaranya, apresiasi kepada mahasiswa peraih indeks prestasi kumulatif tertinggi dan kepada mahasiswa yang mengalami lonjakan nilai tertinggi. Dalam ibadah pembukaan semester, nama-nama mereka akan dipanggil ke depan untuk mendapat reinforcement sosial, berupa tepukan tangan apreatif dari seluruh civitas akademika kampus. Tidak berhenti di situ, mereka juga akan mendapat apresiasi berupa voucher pembelian buku dengan jumlah nominal yang cukup besar. Bagi kami, mahasiswa teologia yang masih banyak bergantung pada buku-buku berbahasa Inggris yang harganya selangit, voucher buku ini menjadi sangat signifikan. Sehingga mendorong mahasiswa yang lain untuk meningkatkan prestasi belajar mereka.
Meski teori belajar dengan pendekatan behavioristik merupakan yang paling kuno, tapi hingga saat ini masih sangat dibutuhkan. Hanya saja, penerapannya memang harus lebih diperhatikan, sehingga reinforcement atau stimulus yang diberikan tidak membuat naradidik melakukan sesuatu hanya karena mendapat “apreasiasi atau hadiah”, tetapi atas kesadaran pribadi. Dalam teori behavioristik fase kesadaran personal ini disebut sebagai reinforcement intrinsik – ada dorongan kesadaran pribadi untuk melakukan hal-hal baik yang perlu dilakukan.
Menarik, bukan? Cobalah untuk membuat menerapkan teori belajar behavioristik ini untuk proyek pribadi Anda, apakah untuk mendorong perubahan positif terhadap diri sendiri, orang terdekat kita, atau komunitas kita. Tulisan ini hanyalah sekelumit saja dari contoh praktik teori behavioristik yang saya temukan di lingkungan kampus dan berasrama di sekolah saya. Untuk pemahaman yang lebih komprehensif, saya sarankan membaca beberapa buku berikut ini:
1. Roberts, Thomas B. Four Psychologies Applied To Education: Freudian, Behavioral, Humanistic, Transpersonal. Massachusetts: Schenkman, 1975.
2. Schunk, Dale, H. Learning Theories: An Educational Perspective. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
3. Skinner, B.F. The Technology of Teaching. New York: Meredith Corporation, 1968.
Selamat belajar dan mengalami transformasi hidup!
No comments:
Post a Comment