Designed by Prostooleh |
Seberapa banyak dari kita yang merasa frustasi karena gagal menangkap penjelasan guru atau dosen di dalam kelas-kelas perkuliahan?
Seberapa banyak juga dari kita yang kemudian diserang oleh rasa kantuk dan bosan, karena materi perkuliahan yang sangat teoritis. Sehingga, rasanya teori-teori tersebut hanya berlaku indah di alam ideal dan kurang relevan dengan kenyataan di lapangan yang seringkali sangat berbeda?
Atau, pernahkah juga kita dibuat gagal paham, bahkan jengkel, terhadap sesama rekan kita yang sulit menyerap materi perkuliahan yang menurut kita cukup mudah untuk dipahami?
Benarlah peribahasa ini: tak kenal, maka tak sayang. Inti persoalan sekaligus solusi dari berbagai pertanyaan di atas dapat kita temukan saat kita memiliki pengenalan dan pemahaman yang baik terhadap gaya belajar kita.
Ketika kita mengenal dengan baik gaya belajar kita, maka kita dapat menemukan sendiri kiat-kiat belajar yang memudahkan kita dalam menyerap suatu materi pembelajaran yang baru secara lebih efisien dan efektif. Lebih dari itu, kita juga menjadi pribadi yang dapat menerima dan menghargai perbedaan gaya belajar rekan-rekan kita yang lain, sehingga tidak dengan mudah menjatuhkan penilaian berdasarkan asumsi pribadi. Sebaliknya, dengan perbedaan yang ada kita justru bisa saling mengisi dan membantu dalam proses pembelajaran. Sehingga, tak ada rekan kita yang tertinggal.
Ada beragam perangkat analisis yang dapat kita gunakan untuk mengenal gaya belajar kita. Salah satunya, melalui pendekatan Learning Style Inventory (LSI) yang dikaji oleh David Kolb. David Kolb (1939) adalah seorang profesor dan pendidik dengan spesialisasi di bidang Experiential Learning, perubahan individu dan sosial, serta pengembangan karier dan pendidikan profesional. Dia juga pendiri dan ketua Experience Based Learning Systems (EBLS) yang terkenal dengan teori Gaya Belajarnya. Dalam pemahaman Experiential Learning, maka faktor garis keturunan, dan pengalaman hidup tertentu turut membentuk gaya belajar yang menjadi preferensi dari suatu individu. Pengalaman menjadi media belajar.
"Experiential learning posits that learning is the major determinant of human development and how individuals learn shapes the course of their personal development" David Kolb. (source: toolshero.com)
Pembelajaran berdasarkan pengalaman menyatakan bahwa belajar adalah penentu utama perkembangan manusia, dan bagaimana individu belajar membentuk arah perkembangan pribadi mereka. Dengan kata lain, kegagalan memahami gaya belajar kita akan membuat kita tidak dapat memaksimalkan segenap potensi yang ada dalam diri kita secara optimal. Sayang sekali, bukan?
Kolb menginventariskan gaya belajar ke dalam empat proses pembelajaran, yaitu Concrete Experience (CE) yang menekankan pada pengalaman dalam keterlibatan secara langsung, Reflective Observation (RO) yang menekankan pada pengamatan secara detail dan deskripsi yang rinci, Abstract Conceptualization (AC) yang menekankan pada penggunaan logika, ide, dan konsep, serta Active Experimentation (AE) yang menekankan pada kekuatan pengaruh dalam membuat suatu perubahan. Anda bisa mempelajari lebih dalam ciri khas dari masing-masing gaya belajar ini dengan meng-klik tautan berikut: The Learning Style Inventory.
Menggunakan perangkat tes sederhana yang tersedia secara online, saya berusaha mencari tahu seperti apa gaya belajar saya. Meski tidak sekomprehensif tes lengkap David Kolb yang berbayar, setidaknya cara ini menjadi langkah awal yang sangat membantu proses pengenalan terhadap salah satu aspek yang cukup penting dalam diri saya. Klik tautan ini untuk mencari tahu: Apa gaya belajar Anda?
Tes ini meliputi pemberian skor (dari 1 sampai 4) berdasarkan pada tingkat preferensi kita terhadap 4 set pernyataan, dengan masing-masing set terdiri dari 10 pernyataan pendek. Skor 1 untuk pernyataan yang paling tidak sesuai dengan preferensi kita, hingga skor 4 untuk pernyataan yang paling sesuai dengan preferensi kita. Total skor dari masing-masing set ini akan menggambarkan seperti apakah gaya belajar kita, dan seperti apa kita menghubungkan antara kemampuan kita menyerap ilmu dengan praktiknya.
Hasilnya cukup mencerahkan! Setelah menghabiskan waktu sekitar 30-an menit (dari alokasi waktu yang disarankan, yaitu 30-45 menit), saya mendapati bahwa skor tertinggi saya (40) adalah tipe Concrete Experience (CE), dengan pengaruh signifikan dari tipe Reflective Observation (RO) yang memperoleh skor 36. Apa artinya?
© concept david kolb, adaptation and design alan chapman 2005-06, based on Kolb's learning styles, 1984
source: med.fau.edu |
Menurut Kolb, dalam bukunya Experiential Learning: Experience as the source of learning and development, mereka yang memiliki gaya belajar dominan di kuadran “Diverging” dapat belajar secara maksimal dengan menggabungkan kekuatan perasaan (feeling) dan pengamatan (watching). Orang-orang tipe “Diverging” ini dikatakan unggul dalam kemampuan imajinasi dan melihat situasi kongkret dari banyak sudut pandang yang berbeda, kemudian menghubungkannya menjadi sesuatu yang bulat dan utuh. Mereka menyukai tugas belajar yang menuntutnya untuk menghasilkan ide-ide dan gemar mengumpulkan berbagai informasi. Mereka juga menggemari topik dan isu seputar kesusastraan, budaya, sejarah, dan ilmu-ilmu sosial lainnya. “Why?” menjadi pertanyaan favorit orang dengan gaya belajar tipe “Diverging”.
Dalam refleksi saya, hasil assessment atau penilaian pribadi ini membawa saya pada sebuah kesadaran yang lebih jernih tentang aspek pribadi yang belum saya pahami sebelumnya. Pemahaman ini memberikan latar belakang yang cukup komprehensif tentang bagaimana cara pandang saya saat melihat suatu masalah atau situasi, cara saya mempersepsi sesuatu hal, dan menanggapi berbagai stimulus dari dalam maupun dari luar dalam proses pembelajaran.
Pemahaman terhadap gaya belajar saya ini membantu saya untuk menghubungkan titik-titik krusial dalam perjalanan hidup saya. Bagaimana sejak kecil saya sangat tertarik dengan segala hal yang mengutamakan kerja imajinasi. Saat usia 6 tahun, saya gemar membuat kerajinan tangan berupa karakter-karakter tokoh dalam dongeng yang saya baca. Saking banyaknya, ayah saya membuat sebuah “pameran kecil” dengan mengundang teman-teman bermain saya di sekeliling rumah. Bahkan, ayah membagikan tiket kertas kecil sebagai tanda masuk bagi mereka…Lucu sekali, saat mengenang kembali masa ini, bagaimana teman-teman saya dengan sangat antusias mencari tahu cerita di balik benda kerajinan tangan yang saya buat.
Kegemaran saya pada dunia literasi juga tumbuh sejak usia dini. Sejak bangku SD saya gemar mengamati segala sesuatu di sekitar saya dan menuangkannya dalam bentuk tulisan, seperti cerita pendek, atau puisi. Bahkan, saat saya duduk di kelas 4 SD saya pernah membuat koran sendiri dengan menyadur kumpulan berita pendek menarik “Kilasan Kawat Sedunia” dari Koran Kompas, yang kemudian saya fotokopi dan bagikan ke rumah-rumah tetangga. Untungnya, “koran” saya “laku” dan disambut baik oleh para ibu dan bapak di lingkungan sekitar rumah. Hahahaha…
Designed by Freepik |
Kedua orang tua saya suka membaca, mungkin hal ini juga yang mendorong saya dan kakak saya suka membaca. Sejak duduk di bangku SD saya sudah membaca karya-karya literatur yang cukup berat, seperti antologi karya sastrawan asal Rusia, seperti Anton Chekov dan Nikolai Gogol, karya-karya sastrawan dan kritikus sosial asal Inggris Charles Dickens, atau novel karya Romo Mangun Wijaya, seorang pemimpin agama Katolik sekaligus sastrawan dan budayawan dari Yogyakarta. Buku roman Burung-Burung Manyar karya Romo Mangun, menjadi salah satu bacaan “dongeng” sebelum tidur – selain cergam Tintin – yang biasa dibacakan ayah. Namun, dari cergam Tintinlah sejak kecil saya terinspirasi untuk menjadi seorang jurnalis – sebuah pilihan profesi yang saya tekuni selama 14 tahun, sebelum saya meresponi panggilan sebagai pelayan fulltimer dengan kembali ke bangku kuliah, mengambil magister pendidikan di salah satu sekolah tinggi teologi di tanah air. Dari tes ini juga saya baru tahu jika jurnalis termasuk salah satu dari sederetan jenis profesi yang banyak mengandalkan gaya belajar tipe “Diverging”.
Kegemaran saya untuk melakukan observasi biasanya berlanjut dengan sebuah pertanyaan “Mengapa?” di kepala. Pertanyaan inilah yang dalam permenungan saya berkembang menjadi tulisan-tulisan reflektif pribadi yang juga bisa dibaca dalam blog ini. Saya percaya, bahwa segala sesuatu yang diizinkan Tuhan hadir atau melintas dalam kehidupan kita adalah materi pembelajaran yang layak disimak. Apakah itu obrolan kecil antara sopir bus angkutan umum dan kondekturnya yang membuat saya belajar tentang arti mencintai, celetukan polos sopir bajaj tentang dilema rakyat kecil di tengah gempita panggung perpolitikan yang kaya intrik dan konflik kepentingan, dan banyak lagi lainnya.
Observasi juga melatih saya untuk tidak cepat mengambil sebuah kesimpulan. Setidaknya, saya akan melakukan riset kecil untuk menguji asumsi saya. Apakah itu dengan membuka kuis kecil-kecilan melalui media sosial saya untuk mengetahui apa pendapat orang tentang suatu topik, atau melakukan riset literatur secara online dari sumber-sumber yang terpercaya. Melalui cara ini, saya belajar untuk memandang suatu masalah atau isu dari berbagai sudut pandang. Sehingga, cakrawala pandang saya pun tidak menjadi sempit.
Bicara tentang riset kecil-kecilan, dalam sebuah observasi, saya ingin mengetahui alasan mengapa orang lebih suka mengenakan jam tangan di tangan kiri. Bagi pengguna jam tangan di tangan kanan seperti saya, fenomena ini membuat saya penasaran. Saya pun membuat survei kecil-kecilan dengan menghitung penumpang Transjakarta yang menggunakan jam di tangan kanan dan di tangan kiri. Seperti dugaan, hanya sekitar 5% saja dari mereka yang menggunakan jam di tangan kanan, termasuk saya. Hasil ini kemudian saya lemparkan di status media sosial untuk mendapatkan tanggapan dari teman-teman saya. Di luar dugaan, banyak yang merespons, bahkan membukakan beberapa jawaban unik. Salah satunya, bahwa di era orde baru (orba), menggunakan jam tangan di tangan kanan menjadi simbol “perlawanan” terhadap rezim orba di kalangan militer. Jadi, bukan sekadar alasan kepraktisan atau higienis saja, tapi juga ada unsur politiknya. Astaga!
Menarik bukan, memahami betapa jauh gaya belajar berpengaruh pada cara berpikir dan cara kita meresponi segala sesuatu?
Dulu, saya tidak tahu bahwa ada latar belakang teori yang membangun gaya belajar saya, dan bagaimana gaya belajar tersebut berperan dalam perkembangan personalitas saya. Kini, dengan memahami gaya belajar melalui pendekatan Learning Style Inventory dari David Kolb, saya dapat belajar untuk lebih optimal dalam mengeksplorasi diri. Saya juga dapat belajar menumbuhkan stimulus dari dalam diri yang mampu merangsang kerja kognitif, afektif, dan psikomotorik saya dalam proses belajar. Ke depannya, pemahaman dan aplikasi yang tepat terhadap gaya belajar dari David Kolb ini dapat membantu saya sebagai seorang pendidik untuk memahami murid-murid saya, dan mendorong saya untuk mendesain strategi pembelajaran yang terbaik baik mereka. Ini adalah doa saya, Amin.
“Pengenalan yang baik terhadap diri dapat membantu kita memahami serta meresponi lingkungan di luar diri kita dengan lebih baik. Menghindarkan kita dari kesalahpahaman, serta sikap mudah menghakimi seseorang hanya dengan menilai apa yang terlihat di permukaan. Sebab, apa yang terlihat, belum tentu mewakili kebenaran.”
hai Naomi, aku tertarik untuk ikut tes learning style-nya kolb tapi link yang kamu share sudah tidak berlaku. apakah kamu punya rekomendasi tes lain? terima kasih
ReplyDelete