ANTARA CINTA, PERSAHABATAN & LUKA MASA LALU
Petualangan Laura (Prisia Nasution) bermula dari sepucuk
kartu pos berlukiskan arena teater kuno Piazza Bra, di Verona, Italia. Alasan
utamanya untuk mengiyakan ajakan sahabatnya Marsha (Adiania Wirasti) untuk berkelana ke benua Eropa dilatari misi
pribadi. Ia ingin memastikan hati bahwa sekian tahun penantiannya yang setia
terhadap Ryan, suaminya, akan berujung pada bahagia. Terutama, untuk Luna,
putri semata wayang mereka yang selama ini harus puas merasakan perhatian
ayahnya melalui kado-kado yang dikirimkan melalui pos.
Amsterdam – Bruhl – Innsbruck –
Verona – Venice. Perjalanan dua sahabat bertolak belakang karakter ini sarat adegan perselisihan yang menggemaskan. Laura yang serba terencana dibuat
kesal oleh sifat Marsha yang hobi ‘berimprovisasi’: terlambat dari schedule karena telat bangun, sampai
memberi tumpangan pada pria asing bernama Finn dalam perjalanan mereka ke
Jerman. Kecerobohan Marsha membuahkan petualangan di luar rencana: tersesat di hutan,
dikejar segerombolan pria haus wanita, hingga harus menjadi pekerja ilegal
karena kehilangan paspor dan dompet!
Hilangnya
kepercayaan, rasa marah, dan kecewa di antara Laura dan Marsha berujung pada
konflik hebat. Setelah saling tuding dan membongkar luka lama, keduanya
memutuskan untuk berpisah. Padahal, petualangan di luar rencana akibat ulah
Marsha, termasuk keberadaan Finn, sebenarnya mendekatkan Laura pada Ryan. Tanpa
Marsha, mampukah Laura menggapai misinya? Di sisi lain, tanpa Laura, mampukah
Marsha berdamai dengan kenyataan pahit yang selama ini dipendamnya seorang
diri?
Road movie yang merupakan film besutan sutradara muda debutan Dinna Jasanti ini berhasil
menghilangkan kebosanan tema relationship,
yang selama ini didominasi oleh roman cengeng. “Sebagai wanita saya tahu
bahwa ada banyak tahapan permasalahan dalam hidup wanita yang belum banyak
dikulik dalam film. Saya ingin mengekplorasi sisi relationship dalam kehidupan wanita yang tidak kalah kompleks dengan
cerita relationship yang hanya fokus
pada hubungan pria dan wanita,” papar Dinna, yang pernah memproduseri film
Karma (2008), Under the Tree (2008),
dan The Land of Five Towers (2011).
Latar
belakang sebagai produser, menurut Dinna sangat membantu dalam menggarap film
yang dibuat dalam jadwal dan budget yang cukup ketat. “Dengan waktu syuting 15
hari plus perjalanan, total syuting di luar negeri selesai dalam waktu tiga
minggu. Dan dengan hanya mengandalkan 13 kru (termasuk dua bintang utama),”
terang produser Leni Lolang dari
Inno Maleo Films.
Meski
hanya mengeksplorasi dua karakter, yaitu Laura dan Marsha, tapi kedalaman
karakter yang dibungkus dalam akting yang natural, pemilihan setting, serta kekuatan jalan cerita
yang tidak tertebak hingga akhirnya membuat film berdurasi -- menit ini kaya! Uniknya
lagi, meski sebagian besar setting film berada di luar negeri, tapi sang
penulis skenarionya sendiri, yaitu Titien
Watimena, belum pernah menginjakkan kaki di benua itu.
“Umar
Kayam juga belum pernah menginjakkan kaki di New York saat menulis Seribu
Kunang-Kunang di Manhattan. Saya hanya mengandalkan riset di internet dan
buku-buku yang saya baca,” ungkap Titien, yang juga tidak mengikuti proses syuting
di luar negeri. Namun, hal ini tidak menjadi penghalang baginya untuk memvisualisasikan
keindahan benua Eropa yang terwakili dengan baik melalui pemilihan kelima kota
tujuan. Inspiratif dan segar, karena penonton dapat menyaksikan sudut lain dari
kelima kota tersebut, yang cukup menarik untuk dieksplorasi oleh mereka yang gemar bertualang. (Foto: Dok. Inno Maleo)
**merupakan versi penuh dari artikel yang tayang di www.femina.co.id