Hidup itu seperti belajar berenang. Kemampuan pertama yang harus dikuasai adalah mengapung. Easier said than done! Makanya, saya masih belajar ;)
Tuesday, 23 December 2014
Relatif Cantik Atau...Cantik Itu Relatif?
♫♪ Putraku si Ande-Ande Lumut…
Temurana ana putri kang unggah-unggahi…
Putrine, kang ala rupane, Klething Kuning iku kang dadi asmane... ♫♪
(…artinya…)
“Putraku si Ande Ande Lumut
Temuilah, ada putri yang sedang bertandang
Putri ini, buruk sekali wajahnya, klething kuning, itu lah namanya…”
Penggalan tembang cerita dari tanah Jawa ini pertama saya kenal lewat suara ibu. Dinyanyikan sebagai penghantar tidur waktu saya kecil dulu. Bercerita tentang seorang Pangeran dari kerajaan Jenggala, Panji Asmarabangun, yang menyamar untuk mencari pasangan jiwanya. Untuk itu, ia tinggal di rumah Mbok randha Dhadhapan.
Suatu hari, tiga putri, Klething Merah, Klething Hijau, dan Klething Kuning, datang ke rumah Mbok randha untuk meminang sang Pangeran. Namun, di luar perhitungan, si Ande Ande Lumut, alias Pangeran Asmarabangun itu justru menjatuhkan pilihannya pada Klething Kuning, si buruk rupa...seperti yang terungkap dalam lirik di atas.
”Kenapa gitu Ma? Kenapa malah milih yang bau dan jelek?” protes saya kepada ibu saya di tengah cerita.
Maklum, waktu itu saya telah lebih dulu berkenalan dengan Cinderella, Putri Salju, dan Putri Aurora (Putri Tidur). Meskipun ceritanya berlatar kesengsaraan – miskin, difitnah, dan didera – tapi, para putri ini terlahir dalam bungkus fisik yang menarik dan cantik. Akhir ceritanya lebih hebat lagi. Seorang Pangeran tampan berbaju zirah dan berkuda putih diceritakan siap menjemput mereka untuk hidup bahagia selamanya di dalam istana.
Lewat dongeng-dongeng inilah sejak kecil saya sudah dikenalkan pada konsep cantik dan tampan, berikut segala keberuntungan serta kebahagiaan yang meliputi mereka. Bahkan, setelah dewasa pun, konsep ini banyak merajai kehidupan sosial di masyarakat.
Temuan para peneliti di Texas Austin, AS, mengungkap bahwa pria yang sedang mencari pasangan akan memfokuskan perhatian mereka pada keelokan paras wanita yang diincar. Sementara yang hanya menginginkan hubungan sesaat, condong mengarahkan fokus ketertarikan pada keindahan tubuh wanita. Pendek kata – it’s all about physic and a skin-deep beauty.
Namun, sebelum benar-benar menjadi orang yang sinis, beberapa pencerahan budaya sedikit memberi warna lain tentang anggapan cantik dan tampan ini. Di era pop culture seperti sekarang, nilai cantik menjadi sangat relatif. Serial TV Ugly Betty adalah salah satu contohnya. Meski dianggap makhluk aneh, toh banyak pria yang jatuh cinta pada keunikannya. Persis seperti kisah si Ande Ande Lumut, yang rupanya menjadi dongeng versi Beauty & the Beast pertama saya.
Kembali ke dongeng Ibu....
“Iya nduk, Ande Ande Lumut memilih Klething Kuning karena dia bisa melihat hatinya yang bersih dan bening,” begitu jawaban almarhum ibu saya waktu itu di akhir cerita.
Cinta...Ohh...Cintaaa...
Jam 7 pagi kurang 10 menit, seperti biasa aku udah duduk manis di bus jurusan Rawamangun-Blok M yang mangkal di terminal. Kalau biasanya milih duduk di baris ke tiga, sekarang aku duduk di baris paling depan. Sambil nunggu waktu, iseng-iseng aku baca bukunya Allan+Barbara Pease: "Why Men Can Only Do One Thing at a Time and Women Never Stop Talking".
Lagi tengah-tengah serius baca, aku denger Si Bapak Sopir ngomong sama kondekturnya. "Kalau ada Mbak-Mbak yang mau naik, dibiilangin, nggak usah lari-lari, ditungguin kok." Si kondektur cuma cengar-cengir. Tapi celetukannya ga berhenti di situ, out of the blue, dia malah jadi nyeritain gimana dulu dia pertama kali ketemu sama istrinya.
Bapak sopir: Waktu itu bus saya baru saja ngetem di terminal Kampung Rambutan. Satu penumpang cewek naik. Mukanya gelisah, bolak-balik liat jam tangan. Waktu ditanya, ternyata dia harus cepet-cepet sampai kampus karena ada ujian. Kasihan, akhirnya saya nekat cabut dan ga lewat jalan biasa, tapi langsung lewat tol biar cepat nyampai. Padahal, cuma dia satu-satunya penumpang saya waktu itu. Eh, nggak tahunya, ternyata dia jadi istri saya...Hahaha..mau bagaimana lagi, namanya juga jodoh. Jalannya bisa aneh-aneh!
Waks! Romantis bingiitt!!!
Bapak sopir: Makanya, hari gini jangan kebanyakan teori! Lama dapetnya!
Denger omongan Pak Sopir aku langsung ketawa. Curiga, jangan-jangan dia cerita ini gara-gara baca sampul bukuku. Lho, tapi kan sampul bukunya in english?? Hmm...tapi kan istrinya orang kuliahan S1? Lha, memang di dunia ini ada yang kebetulan? Kebetulan aku baca buku ini, kebetulan aku dapet cerita itu? Rasanya kog...
Padahal aku baca buku itu bukan gara-gara desperate memahami makhluk unik -- kalau tidak bisa dikatakan aneh -- bernama cowok, tapi aku lagi nyari bahan buat kolom kecil di salah satu rubrik tetapku di majalah. Tapi tetep aja aku maluuu...Pelan-pelan kuselipkan buku itu ke dalam tas. Dem!
Tapi ada pikiran spontan yang langsung melintas di kepalaku: Gampang ya, mendapatkan kekasih? Tapi kalau dipikir, kasus si Bapak tadi sih ngga gampang-gampang amat! Dia harus ambil risiko ditilang polisi karena bawa bus lewat tol yang sebenernya bukan jadi jalurnya. Dia juga musti tahan diomelin panjang pendek sama kondekturnya gara-gara mereka kehilangan pemasukan dari sekitar 40-an penumpang, gara-gara cuma nganter satu penumpang doang.
Pas banget dong sama lagunya Tante Margie Segers: **ehemm, maklum old soul
"Kalau kau benar-benar sayang padaku….
Kalau kau benar-benar cinta
Tak perlu kau katakan semua itu
Cukup tingkah laku
Semua bisa bilang sayang….
Semua bisa bilang
Apalah artinya sayang…
Tanpa kenyataan…
Sekarang apalah artinya cinta
Kalau hanya di bibir saja
Cinta itu bukanlah main mainan
Tapi pengorbanan..."
Kakek Dan Proyek Repotnya
Masih tentang kisah masa kecil, saat berlibur di rumah almarhum kakek, di Berbah, Sleman, Yogyakarta.
Di desa kakek, di tahun 80-an, masih belum mengenal aspal. Yang ada hanya jalan tanah yang bergunduk-gunduk dan tidak rata. Di sana juga tidak ada gedung bertingkat. Satu-satunya bangunan besar yang ada hanyalah gedung puskesmas satu lantai peninggalan Belanda yang bersebelahan dengan pekuburan. Sisanya, adalah hamparan sawah, dan rumah-rumah penduduk berdinding anyaman bambu dan beralaskan tanah.
Berawal dari diri sendiri, lewat hal yang paling sederhana, kakek mulai “menjamah” jalan desa yang berlubang dan bergunduk-gunduk di sana sini. “Bersenjatakan” cangkul dan ember plastik, kakek meratakan gundukan tanah, memindahkannya ke dalam ember, dan menuang isinya ke jalan yang berlubang. Kemudian dengan sepenuh tenaga, ia akan menekan-nekan tanah tersebut dengan sisi cangkul hingga mampat dan rata.
Mengekor di belakang kakek, saya akan menghentak-hentakkan telapak kaki kecil saya ke atas lubang yang sudah ditutupi tanah hingga padat. Sebagai imbalan, kakek akan membelikan kue kering kacang yang renyah dan lezat di warung tetangga. “Gratis, Mbah!” ujar ibu-ibu paruh baya bersanggul kepada kakek. Katanya, ini adalah ‘bonus’ karena kakek rajin membenahi jalan desa, dan memotongi pagar tanaman di setiap rumah penduduk yang dilewatinya.
Kakek tidak suka pagar yang terbuat dari tembok, maka sebagai gantinya ia menanam pohon teh-tehan yang dibentuk menyerupai pagar. Sebagian ditanam oleh kakek, sisanya ditanam atas kesadaran penduduk sendiri. “Pagar hidup lebih segar dan asri,” ujar kakek suatu hari. Kemudian, dengan antusias, kakek menunjukkan barisan teh-tehan muda yang daun-daunnya masih setinggi pinggang saya.
Kakek mengajari saya bagaimana meratakan pinggirnya hingga menyerupai pagar. Sedangkan bagian atasnya dibiarkan agar bisa terus tumbuh semakin tinggi. Gunting besi kakek yang menyerupai gunting kain terasa besar dan longgar di jari-jari kecil saya. “Awas, pelan-pelan,” ucap kakek, sabar, sambil mengawasi saya.
Kalau dihitung-hitung, rute “perjalanan” kakek berkisar antara 1-2 kilometer setiap harinya. “Kok, kakek mau sih capek-capek begini?” tanya saya tak habis pikir. Dengan tersenyum kakek menjawab, “Kakek tidak keberatan kok. Kakek melakukannya dengan gembira. Yah, syukur-syukur ada yang membantu. Tapi kalau tidak juga tidak apa-apa.” Meskipun jalan tanah yang diratakannya kembali berlubang karena terkikis aliran air hujan, atau tergerus roda andong dan hentakan tapal kaki kuda, kakek tidak pernah kapok berbenah!
Kini, setiap kali saya mendengar lagu Jonathan Prawira "Ratakan tanah bergelombang, timbunlah tanah yang berlubang. Menjadi siap dibangun di atas dasar iman .." saya akan teringat pada kakek dan visi hidupnya yang mengubahkan. Apa yang diubah oleh kakek? Awalnya, wajah desa tentu saja. Sepanjang jalan diapit oleh pagar “hidup” hasil sentuhan tangan kakek. Jalan yang tadinya tidak rata, penuh lubang, menjadi lebih enak dijalani.
Setelah itu, ada hal lain juga yang berubah. Beberapa tahun kemudian, kakek tidak lagi sendiri saat mengguntingi pagar hidup. Beberapa penduduk, entah karena malu atau kesadaran, mulai merapikan pagar hidup, dan menyapu halaman mereka sendiri. Bahkan, satu-dua bapak-bapak mulai ikut membantu kakek meratakan jalan. Kakek membangun sebuah kesadaran. Saya mulai mengerti arti dari “kerepotan” yang selama ini dilakoni kakek dengan setia.
Kini, lama setelah kakek meninggal, jalan tanah itu telah berganti dengan coneblock, pagar tanaman yang asri dan pagar tanaman hidup telah menjadi jalur semen setinggi ketiak orang dewasa. Namun, semua perubahan ini tidak menghapus pelajaran berharga yang diwariskan oleh kakek. Terima kasih Eyang Madyasoewignya!
Malam Ini Di Teras Rumah
Saat
sedang menjamu angin malam di teras rumah, seorang pedagang sate padang
melintas. Seperti biasa, saya selalu terkesan dengan kekreativan
pedagang keliling seperti dia.
Dengan perlahan, ia menarik gerobak yang penuh dengan tumpukan sate berlapis-lapis dan bara batok kelapa yang mengepulkan asap. Lalu, lengkingan unik suara yang saya tunggu-tunggu pun terdengar.... Sa (diucapkan lirih) Te (diucapkan lebih lantang, dan nada mengayun panjang) Padang (diucapkan pendek).
"Saaa...Te Pa-dang"
Meski hanya bertatap sekilas, ada bayang kelelahan di wajahnya. Sayang, saya tidak terlalu suka sate Padang...dan kebetulan baru saja menyantap makan malam.
Tiba-tiba, dari arah salah satu rumah, terdengar suara seorang pria yang meniru lengkingan si penjual sate Padang. Kontan, kepala si penjual itu langsung terangkat, penuh harap akan datangnya pelanggan. Dari raut wajahnya yang cerah, terbayang bahwa sudah lama ia menantikannya. Tetapi, setelah menoleh ke kiri dan ke kanan mencari sumber suara, yang ada hanya suara tawa terkekeh tanpa wujud. Kepalanya kembali tetunduk...
Di momen yang sama terbersit sebuah pikiran kecil di benak saya. Betapa dengan mudah orang membuat lelucon tentang perjuangan hidup orang lain. Menganggapnya sebagai suatu hal yang konyol, ketika di saat yang sama apa yang kita tertawakan itu bermakna kehidupan bagi orang lain.
Sebut saja saya terlalu sensitif. Mungkin memang benar begitu. Tetapi, kejadian di malam ini akan terus mengingatkan saya tentang arti pepatah Jawa: Tepa selira. Menempatkan diri pada posisi orang lain, untuk ikut berempati pada apa yang dirasakan oleh sesama kita. Dan sesama di sini adalah setiap orang yang diizinkan hadir dan melintas dalam kehidupan kita.
Rawamangun, Minggu, 18 Maret 2011, 21:00 WIB
Dengan perlahan, ia menarik gerobak yang penuh dengan tumpukan sate berlapis-lapis dan bara batok kelapa yang mengepulkan asap. Lalu, lengkingan unik suara yang saya tunggu-tunggu pun terdengar.... Sa (diucapkan lirih) Te (diucapkan lebih lantang, dan nada mengayun panjang) Padang (diucapkan pendek).
"Saaa...Te Pa-dang"
Meski hanya bertatap sekilas, ada bayang kelelahan di wajahnya. Sayang, saya tidak terlalu suka sate Padang...dan kebetulan baru saja menyantap makan malam.
Tiba-tiba, dari arah salah satu rumah, terdengar suara seorang pria yang meniru lengkingan si penjual sate Padang. Kontan, kepala si penjual itu langsung terangkat, penuh harap akan datangnya pelanggan. Dari raut wajahnya yang cerah, terbayang bahwa sudah lama ia menantikannya. Tetapi, setelah menoleh ke kiri dan ke kanan mencari sumber suara, yang ada hanya suara tawa terkekeh tanpa wujud. Kepalanya kembali tetunduk...
Di momen yang sama terbersit sebuah pikiran kecil di benak saya. Betapa dengan mudah orang membuat lelucon tentang perjuangan hidup orang lain. Menganggapnya sebagai suatu hal yang konyol, ketika di saat yang sama apa yang kita tertawakan itu bermakna kehidupan bagi orang lain.
Sebut saja saya terlalu sensitif. Mungkin memang benar begitu. Tetapi, kejadian di malam ini akan terus mengingatkan saya tentang arti pepatah Jawa: Tepa selira. Menempatkan diri pada posisi orang lain, untuk ikut berempati pada apa yang dirasakan oleh sesama kita. Dan sesama di sini adalah setiap orang yang diizinkan hadir dan melintas dalam kehidupan kita.
Rawamangun, Minggu, 18 Maret 2011, 21:00 WIB
Subscribe to:
Posts (Atom)
Belajar Dari Jagung
Kisah ini saya tulis sebagai kenangan sekaligus ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada kakak saya, Teguh dan istrinya Caec...
-
Menikmati Harmoni Alam di Jantung Pedalaman Kalimantan Barat Heaven on earth . Kesan ini layak ditujukan pada kecant...
-
"Mendengar 'auman' Kartini dalam simbolisasi Macan Kurung" Tak hanya diabadikan sebagai nama jalan raya, jejak ...
-
Vatadage Penggemar epos Ramayana mengenalnya dengan sebutan Alengka, tempat Raja Rahwana menyekap Shinta, kekasih Rama. Sementara it...