Tuesday, 23 December 2014

Malam Ini Di Teras Rumah

Saat sedang menjamu angin malam di teras rumah, seorang pedagang sate padang melintas. Seperti biasa, saya selalu terkesan dengan kekreativan pedagang keliling seperti dia.

Dengan perlahan, ia menarik gerobak yang penuh dengan tumpukan sate berlapis-lapis dan bara batok kelapa yang mengepulkan asap. Lalu, lengkingan unik suara yang saya tunggu-tunggu pun terdengar.... Sa (diucapkan lirih) Te (diucapkan lebih lantang, dan nada mengayun panjang) Padang (diucapkan pendek).

"Saaa...Te Pa-dang"

Meski hanya bertatap sekilas, ada bayang kelelahan di wajahnya. Sayang, saya tidak terlalu suka sate Padang...dan kebetulan baru saja menyantap makan malam.

Tiba-tiba, dari arah salah satu rumah, terdengar suara seorang pria yang meniru lengkingan si penjual sate Padang. Kontan, kepala si penjual itu langsung terangkat, penuh harap akan datangnya pelanggan. Dari raut wajahnya yang cerah, terbayang bahwa sudah lama ia menantikannya. Tetapi, setelah menoleh ke kiri dan ke kanan mencari sumber suara, yang ada hanya suara tawa terkekeh tanpa wujud. Kepalanya kembali tetunduk...

Di momen yang sama terbersit sebuah pikiran kecil di benak saya. Betapa dengan mudah orang membuat lelucon tentang perjuangan hidup orang lain. Menganggapnya sebagai suatu hal yang konyol, ketika di saat yang sama apa yang kita tertawakan itu bermakna kehidupan bagi orang lain.

Sebut saja saya terlalu sensitif. Mungkin memang benar begitu. Tetapi, kejadian di malam ini akan terus mengingatkan saya tentang arti pepatah Jawa: Tepa selira. Menempatkan diri pada posisi orang lain, untuk ikut berempati pada apa yang dirasakan oleh sesama kita. Dan sesama di sini adalah setiap orang yang diizinkan hadir dan melintas dalam kehidupan kita.

Rawamangun, Minggu, 18 Maret 2011, 21:00 WIB

No comments:

Post a Comment

Belajar Dari Jagung

Kisah ini saya tulis sebagai kenangan sekaligus ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada kakak saya, Teguh dan istrinya Caec...