Tuesday, 23 December 2014

Kakek Dan Proyek Repotnya



Masih tentang kisah masa kecil, saat berlibur di rumah almarhum kakek, di Berbah, Sleman, Yogyakarta.

Di desa kakek, di tahun 80-an, masih belum mengenal aspal. Yang ada hanya jalan tanah yang bergunduk-gunduk dan tidak rata. Di sana juga tidak ada gedung bertingkat. Satu-satunya bangunan besar yang ada hanyalah gedung puskesmas satu lantai peninggalan Belanda yang bersebelahan dengan pekuburan. Sisanya, adalah hamparan sawah, dan rumah-rumah penduduk berdinding anyaman bambu dan beralaskan tanah.

Berawal dari diri sendiri, lewat hal yang paling sederhana, kakek mulai “menjamah” jalan desa yang berlubang dan bergunduk-gunduk di sana sini. “Bersenjatakan” cangkul dan ember plastik, kakek meratakan gundukan tanah, memindahkannya ke dalam ember, dan menuang isinya ke jalan yang berlubang. Kemudian dengan sepenuh tenaga, ia akan menekan-nekan tanah tersebut dengan sisi cangkul hingga mampat dan rata.

Mengekor di belakang kakek, saya akan menghentak-hentakkan telapak kaki kecil saya ke atas lubang yang sudah ditutupi tanah hingga padat. Sebagai imbalan, kakek akan membelikan kue kering kacang yang renyah dan lezat di warung tetangga. “Gratis, Mbah!” ujar ibu-ibu paruh baya bersanggul kepada kakek. Katanya, ini adalah ‘bonus’ karena kakek rajin membenahi jalan desa, dan memotongi pagar tanaman di setiap rumah penduduk yang dilewatinya.

Kakek tidak suka pagar yang terbuat dari tembok, maka sebagai gantinya ia menanam pohon teh-tehan yang dibentuk menyerupai pagar. Sebagian ditanam oleh kakek, sisanya ditanam atas kesadaran penduduk sendiri. “Pagar hidup lebih segar dan asri,” ujar kakek suatu hari. Kemudian, dengan antusias, kakek menunjukkan barisan teh-tehan muda yang daun-daunnya masih setinggi pinggang saya.

Kakek mengajari saya bagaimana meratakan pinggirnya hingga menyerupai pagar. Sedangkan bagian atasnya dibiarkan agar bisa terus tumbuh semakin tinggi. Gunting besi kakek yang menyerupai gunting kain terasa besar dan longgar di jari-jari kecil saya. “Awas, pelan-pelan,” ucap kakek, sabar, sambil mengawasi saya.

Kalau dihitung-hitung, rute “perjalanan” kakek berkisar antara 1-2 kilometer setiap harinya. “Kok, kakek mau sih capek-capek begini?” tanya saya tak habis pikir. Dengan tersenyum kakek menjawab, “Kakek tidak keberatan kok. Kakek melakukannya dengan gembira. Yah, syukur-syukur ada yang membantu. Tapi kalau tidak juga tidak apa-apa.” Meskipun jalan tanah yang diratakannya kembali berlubang karena terkikis aliran air hujan, atau tergerus roda andong dan hentakan tapal kaki kuda, kakek tidak pernah kapok berbenah!

Kini, setiap kali saya mendengar lagu Jonathan Prawira "Ratakan tanah bergelombang, timbunlah tanah yang berlubang. Menjadi siap dibangun di atas dasar iman .." saya akan teringat pada kakek dan visi hidupnya yang mengubahkan. Apa yang diubah oleh kakek? Awalnya, wajah desa tentu saja. Sepanjang jalan diapit oleh pagar “hidup” hasil sentuhan tangan kakek. Jalan yang tadinya tidak rata, penuh lubang, menjadi lebih enak dijalani.

Setelah itu, ada hal lain juga yang berubah. Beberapa tahun kemudian, kakek tidak lagi sendiri saat mengguntingi pagar hidup. Beberapa penduduk, entah karena malu atau kesadaran, mulai merapikan pagar hidup, dan menyapu halaman mereka sendiri. Bahkan, satu-dua bapak-bapak mulai ikut membantu kakek meratakan jalan. Kakek membangun sebuah kesadaran. Saya mulai mengerti arti dari “kerepotan” yang selama ini dilakoni kakek dengan setia.

Kini, lama setelah kakek meninggal, jalan tanah itu telah berganti dengan coneblock, pagar tanaman yang asri dan pagar tanaman hidup telah menjadi jalur semen setinggi ketiak orang dewasa. Namun, semua perubahan ini tidak menghapus pelajaran berharga yang diwariskan oleh kakek. Terima kasih Eyang Madyasoewignya!

No comments:

Post a Comment

Belajar Dari Jagung

Kisah ini saya tulis sebagai kenangan sekaligus ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada kakak saya, Teguh dan istrinya Caec...