Wednesday, 18 March 2020

Perjalanan Mengubah Perilaku

Designed by Freepik

Suatu hari, di jam makan pagi asrama, salah satu kakak tingkat yang baru saja kembali dari praktik satu tahun bercerita dengan semangat. Dia mengatakan bahwa di semester-semester awal, bersama seorang teman asrama, ia pernah berbuat “kenakalan”. Karena kelaparan, malam itu, ketika semua teman di asrama sudah terlelap tidur, mereka turun diam-diam untuk mengambil mie instan cup di warung kejujuran. Rupanya, bentuk ketidaktaatan ini ketahuan, sehingga mereka diwajibkan untuk membersihkan kamar mandi ruang makan selama seminggu penuh.

“Tadinya, saya pikir tidak akan berat, karena kami bisa melakukannya berdua. Ternyata, maksudnya masing-masing dari kami harus membersihkannya selama seminggu penuh! Astaga! Benar-benar kapok!!” ungkapnya, berapi-api.

Dapat dimengerti arti kata “kapok” yang diungkapkan kakak tingkat itu, sebab kami sama-sama menjalani sendiri padatnya jam kegiatan di sekolah, yang tidak hanya menguras pikiran, tapi juga menuntut tenaga dan stamina yang kuat. Terbayangkan, ketika semua mahasiswa yang lain dapat pulang beristirahat, mereka masih harus berjibaku menggosok kamar mandi yang telah seharian dipakai rekan-rekannya.

Cerita kakak tingkat ini kembali mencuat ketika saya belajar tentang teori belajar Behavioristik. Psikolog dan salah satu ilmuwan di Universitas Johns Hopkins, Thomas B. Roberts, dalam pengantar pembelajaran teori behavioristik mengungkap, bahwa nyaris semua perilaku manusia merupakan hasil dari pembelajaran. Setiap perilaku yang muncul merupakan respons dari berbagai stimulus yang diterima oleh individu tersebut. Dalam konteks belajar, maka stimulus adalah segala sesuatu yang diberikan guru kepada pembelajar. Sebaliknya, respons adalah reaksi atau tanggapan pembelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru.

Punishment, atau hukuman yang dialami oleh kakak tingkat saya tadi adalah salah satu bentuk penguatan atau reinforcement yang diberikan kepada naradidik dengan tujuan untuk mengubah perilakunya. Di mana naradidik mendapat konsekuensi yang tidak menyenangkan karena melakukan sesuatu, sebagai pembelajaran agar ia tidak lagi melakukannya.

Setelah saya amati, di era saya sekarang, ada beberapa reinforcement punishment yang diterapkan sekolah, terkait kegiatan belajar dan berasrama. Di antaranya, sanksi cuci piring bagi mereka yang terlambat datang di kegiatan olah raga bersama tanpa keterangan yang jelas. Ada juga denda untuk mereka yang terlambat tiba di ruang makan di jam seharusnya (pukul 06:55 WIB untuk makan pagi, dan 18:30 WIB untuk makan malam). Mereka harus membayar denda Rp10.000 jika terlambat makan pagi dan Rp15.000 jika terlambat makan malam. Jumlah ini cukup signifikan bagi mahasiswa asrama yang bergantung pada uang bulanan dari donor, atau biaya kiriman bulanan dari orang tua. Tentu, kita tidak ingin hasil jerih payah orang yang membiayai pendidikan kita ini terbuang akibat kebodohan kita sendiri.

Namun, tidak hanya bentuk reinforcement berupa hukuman yang kami temui di sekolah. Tidak sedikit juga reinforcement positif, berupa apresiasi sebagai penambah semangat belajar. Di antaranya, apresiasi kepada mahasiswa peraih indeks prestasi kumulatif tertinggi dan kepada mahasiswa yang mengalami lonjakan nilai tertinggi. Dalam ibadah pembukaan semester, nama-nama mereka akan dipanggil ke depan untuk mendapat reinforcement sosial, berupa tepukan tangan apreatif dari seluruh civitas akademika kampus.  Tidak berhenti di situ, mereka juga akan mendapat apresiasi berupa voucher pembelian buku dengan jumlah nominal yang cukup besar. Bagi kami, mahasiswa teologia yang masih banyak bergantung pada buku-buku berbahasa Inggris yang harganya selangit, voucher buku ini menjadi sangat signifikan. Sehingga mendorong mahasiswa yang lain untuk meningkatkan prestasi belajar mereka.

Meski teori belajar dengan pendekatan behavioristik merupakan yang paling kuno, tapi hingga saat ini masih sangat dibutuhkan. Hanya saja, penerapannya memang harus lebih diperhatikan, sehingga reinforcement atau stimulus yang diberikan tidak membuat naradidik melakukan sesuatu hanya karena mendapat “apreasiasi atau hadiah”, tetapi atas kesadaran pribadi. Dalam teori behavioristik fase kesadaran personal ini disebut sebagai reinforcement intrinsik – ada dorongan kesadaran pribadi untuk melakukan hal-hal baik yang perlu dilakukan.

Menarik, bukan? Cobalah untuk membuat menerapkan teori belajar behavioristik ini untuk proyek pribadi Anda, apakah untuk mendorong perubahan positif terhadap diri sendiri, orang terdekat kita, atau komunitas kita. Tulisan ini hanyalah sekelumit saja dari contoh praktik teori behavioristik yang saya temukan di lingkungan kampus dan berasrama di sekolah saya. Untuk pemahaman yang lebih komprehensif, saya sarankan membaca beberapa buku berikut ini:

1. Roberts, Thomas B. Four Psychologies Applied To Education: Freudian, Behavioral, Humanistic, Transpersonal. Massachusetts: Schenkman, 1975.
2. Schunk, Dale, H. Learning Theories: An Educational Perspective. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
3. Skinner, B.F. The Technology of Teaching. New York: Meredith Corporation, 1968.

Selamat belajar dan mengalami transformasi hidup!


Tuesday, 10 March 2020

Belajar Mengenal Diri & Memahami Orang Lain Melalui Gaya Belajar


Designed by Prostooleh

Seberapa banyak dari kita yang merasa frustasi karena gagal menangkap penjelasan guru atau dosen di dalam kelas-kelas perkuliahan?

Seberapa banyak juga dari kita yang kemudian diserang oleh rasa kantuk dan bosan, karena materi perkuliahan yang sangat teoritis. Sehingga, rasanya teori-teori tersebut hanya berlaku indah di alam ideal dan kurang relevan dengan kenyataan di lapangan yang seringkali sangat berbeda?

Atau, pernahkah juga kita dibuat gagal paham, bahkan jengkel, terhadap sesama rekan kita yang sulit menyerap materi perkuliahan yang menurut kita cukup mudah untuk dipahami?

Benarlah peribahasa ini: tak kenal, maka tak sayang. Inti persoalan sekaligus solusi dari berbagai pertanyaan di atas dapat kita temukan saat kita memiliki pengenalan dan pemahaman yang baik terhadap gaya belajar kita.

Ketika kita mengenal dengan baik gaya belajar kita, maka kita dapat menemukan sendiri kiat-kiat belajar yang memudahkan kita dalam menyerap suatu materi pembelajaran yang baru secara lebih efisien dan efektif. Lebih dari itu, kita juga menjadi pribadi yang dapat menerima dan menghargai perbedaan gaya belajar rekan-rekan kita yang lain, sehingga tidak dengan mudah menjatuhkan penilaian berdasarkan asumsi pribadi. Sebaliknya, dengan perbedaan yang ada kita justru bisa saling mengisi dan membantu dalam proses pembelajaran. Sehingga, tak ada rekan kita yang tertinggal.

Ada beragam perangkat analisis yang dapat kita gunakan untuk mengenal gaya belajar kita. Salah satunya, melalui pendekatan Learning Style Inventory (LSI) yang dikaji oleh David Kolb. David Kolb (1939) adalah seorang profesor dan pendidik dengan spesialisasi di bidang Experiential Learning, perubahan individu dan sosial, serta pengembangan karier dan pendidikan profesional. Dia juga pendiri dan ketua Experience Based Learning Systems (EBLS) yang terkenal dengan teori Gaya Belajarnya. Dalam pemahaman Experiential Learning, maka faktor garis keturunan, dan pengalaman hidup tertentu turut membentuk gaya belajar yang menjadi preferensi dari suatu individu. Pengalaman menjadi media belajar.

"Experiential learning posits that learning is the major determinant of human development and how individuals learn shapes the course of their personal development" David Kolb. (source: toolshero.com) 

Pembelajaran berdasarkan pengalaman menyatakan bahwa belajar adalah penentu utama perkembangan manusia, dan bagaimana individu belajar membentuk arah perkembangan pribadi mereka. Dengan kata lain, kegagalan memahami gaya belajar kita akan membuat kita tidak dapat memaksimalkan segenap potensi yang ada dalam diri kita secara optimal. Sayang sekali, bukan?

Kolb menginventariskan gaya belajar ke dalam empat proses pembelajaran, yaitu Concrete Experience (CE) yang menekankan pada pengalaman dalam keterlibatan secara langsung, Reflective Observation (RO) yang menekankan pada pengamatan secara detail dan deskripsi yang rinci, Abstract Conceptualization (AC) yang menekankan pada penggunaan logika, ide, dan konsep, serta Active Experimentation (AE) yang menekankan pada kekuatan pengaruh dalam membuat suatu perubahan. Anda bisa mempelajari lebih dalam ciri khas dari masing-masing gaya belajar ini dengan meng-klik tautan berikut: The Learning Style Inventory.

Menggunakan perangkat tes sederhana yang tersedia secara online, saya berusaha mencari tahu seperti apa gaya belajar saya. Meski tidak sekomprehensif tes lengkap David Kolb yang berbayar, setidaknya cara ini menjadi langkah awal yang sangat membantu proses pengenalan terhadap salah satu aspek yang cukup penting dalam diri saya. Klik tautan ini untuk mencari tahu: Apa gaya belajar Anda?

Tes ini meliputi pemberian skor (dari 1 sampai 4) berdasarkan pada tingkat preferensi kita terhadap 4 set pernyataan, dengan masing-masing set terdiri dari 10 pernyataan pendek. Skor 1 untuk pernyataan yang paling tidak sesuai dengan preferensi kita, hingga skor 4 untuk pernyataan yang paling sesuai dengan preferensi kita. Total skor dari masing-masing set ini akan menggambarkan seperti apakah gaya belajar kita, dan seperti apa kita menghubungkan antara kemampuan kita menyerap ilmu dengan praktiknya.

Hasilnya cukup mencerahkan! Setelah menghabiskan waktu sekitar 30-an menit (dari alokasi waktu yang disarankan, yaitu 30-45 menit), saya mendapati bahwa skor tertinggi saya (40) adalah tipe Concrete Experience (CE), dengan pengaruh signifikan dari tipe Reflective Observation (RO) yang memperoleh skor 36. Apa artinya?


© concept david kolb, adaptation and design alan chapman 2005-06, based on Kolb's learning styles, 1984


Mari kita bersama-sama menyimak bagan konsep Gaya Belajar David Kolb di atas untuk dapat membaca/mengiterpretasikan hasil gaya belajar kita. Bagan ini menampilkan dua sumbu, yaitu sumbu horizontal yang mewakili “Bagaimana Cara Kita Melakukan Sesuatu”, dan sumbu vertikal yang mewakili “Bagaimana Cara Kita Berpikir Tentang Sesuatu”. Apabila ditarik garis koordinat, maka dengan nilai skor 40 untuk CE dan 36 untuk RO, maka gaya belajar saya yang dominan berada di kuadran “Diverging” (perhatikan gambar diagram di bawah ini).


source: med.fau.edu


Menurut Kolb, dalam bukunya Experiential Learning: Experience as the source of learning and development, mereka yang memiliki gaya belajar dominan di kuadran “Diverging” dapat belajar secara maksimal dengan menggabungkan kekuatan perasaan (feeling) dan pengamatan (watching). Orang-orang tipe “Diverging” ini dikatakan unggul dalam kemampuan imajinasi dan melihat situasi kongkret dari banyak sudut pandang yang berbeda, kemudian menghubungkannya menjadi sesuatu yang bulat dan utuh. Mereka menyukai tugas belajar yang menuntutnya untuk menghasilkan ide-ide dan gemar mengumpulkan berbagai informasi. Mereka juga menggemari topik dan isu seputar kesusastraan, budaya, sejarah, dan ilmu-ilmu sosial lainnya. “Why?” menjadi pertanyaan favorit orang dengan gaya belajar tipe “Diverging”.

Dalam refleksi saya, hasil assessment atau penilaian pribadi ini membawa saya pada sebuah kesadaran yang lebih jernih tentang aspek pribadi yang belum saya pahami sebelumnya. Pemahaman ini memberikan latar belakang yang cukup komprehensif tentang bagaimana cara pandang saya saat melihat suatu masalah atau situasi, cara saya mempersepsi sesuatu hal, dan menanggapi berbagai stimulus dari dalam maupun dari luar dalam proses pembelajaran.

Pemahaman terhadap gaya belajar saya ini membantu saya untuk menghubungkan titik-titik krusial dalam perjalanan hidup saya. Bagaimana sejak kecil saya sangat tertarik dengan segala hal yang mengutamakan kerja imajinasi. Saat usia 6 tahun, saya gemar membuat kerajinan tangan berupa karakter-karakter tokoh dalam dongeng yang saya baca. Saking banyaknya, ayah saya membuat sebuah “pameran kecil” dengan mengundang teman-teman bermain saya di sekeliling rumah. Bahkan, ayah membagikan tiket kertas kecil sebagai tanda masuk bagi mereka…Lucu sekali, saat mengenang kembali masa ini, bagaimana teman-teman saya dengan sangat antusias mencari tahu cerita di balik benda kerajinan tangan yang saya buat.

Kegemaran saya pada dunia literasi juga tumbuh sejak usia dini. Sejak bangku SD saya gemar mengamati segala sesuatu di sekitar saya dan menuangkannya dalam bentuk tulisan, seperti cerita pendek, atau puisi. Bahkan, saat saya duduk di kelas 4 SD saya pernah membuat koran sendiri dengan menyadur kumpulan berita pendek menarik “Kilasan Kawat Sedunia” dari Koran Kompas, yang kemudian saya fotokopi dan bagikan ke rumah-rumah tetangga. Untungnya, “koran” saya “laku” dan disambut baik oleh para ibu dan bapak di lingkungan sekitar rumah. Hahahaha…


Designed by Freepik


Kedua orang tua saya suka membaca, mungkin hal ini juga yang mendorong saya dan kakak saya suka membaca. Sejak duduk di bangku SD saya sudah membaca karya-karya literatur yang cukup berat, seperti antologi karya sastrawan asal Rusia, seperti Anton Chekov dan Nikolai Gogol, karya-karya sastrawan dan kritikus sosial asal Inggris Charles Dickens, atau novel karya Romo Mangun Wijaya, seorang pemimpin agama Katolik sekaligus sastrawan dan budayawan dari Yogyakarta. Buku roman Burung-Burung Manyar karya Romo Mangun, menjadi salah satu bacaan “dongeng” sebelum tidur – selain cergam Tintin – yang biasa dibacakan ayah. Namun, dari cergam Tintinlah sejak kecil saya terinspirasi untuk menjadi seorang jurnalis – sebuah pilihan profesi yang saya tekuni selama 14 tahun, sebelum saya meresponi panggilan sebagai pelayan fulltimer dengan kembali ke bangku kuliah, mengambil magister pendidikan di salah satu sekolah tinggi teologi di tanah air. Dari tes ini juga saya baru tahu jika jurnalis termasuk salah satu dari sederetan jenis profesi yang banyak mengandalkan gaya belajar tipe “Diverging”.

Kegemaran saya untuk melakukan observasi biasanya berlanjut dengan sebuah pertanyaan “Mengapa?” di kepala. Pertanyaan inilah yang dalam permenungan saya berkembang menjadi tulisan-tulisan reflektif pribadi yang juga bisa dibaca dalam blog ini. Saya percaya, bahwa segala sesuatu yang diizinkan Tuhan hadir atau melintas dalam kehidupan kita adalah materi pembelajaran yang layak disimak. Apakah itu obrolan kecil antara sopir bus angkutan umum dan kondekturnya yang membuat saya belajar tentang arti mencintai, celetukan polos sopir bajaj tentang dilema rakyat kecil di tengah gempita panggung perpolitikan yang kaya intrik dan konflik kepentingan, dan banyak lagi lainnya.

Observasi juga melatih saya untuk tidak cepat mengambil sebuah kesimpulan. Setidaknya, saya akan melakukan riset kecil untuk menguji asumsi saya. Apakah itu dengan membuka kuis kecil-kecilan melalui media sosial saya untuk mengetahui apa pendapat orang tentang suatu topik, atau melakukan riset literatur secara online dari sumber-sumber yang terpercaya. Melalui cara ini, saya belajar untuk memandang suatu masalah atau isu dari berbagai sudut pandang. Sehingga, cakrawala pandang saya pun tidak menjadi sempit.

Bicara tentang riset kecil-kecilan, dalam sebuah observasi, saya ingin mengetahui alasan mengapa orang lebih suka mengenakan jam tangan di tangan kiri. Bagi pengguna jam tangan di tangan kanan seperti saya, fenomena ini membuat saya penasaran. Saya pun membuat survei kecil-kecilan dengan menghitung penumpang Transjakarta yang menggunakan jam di tangan kanan dan di tangan kiri. Seperti dugaan, hanya sekitar 5% saja dari mereka yang menggunakan jam di tangan kanan, termasuk saya. Hasil ini kemudian saya lemparkan di status media sosial untuk mendapatkan tanggapan dari teman-teman saya. Di luar dugaan, banyak yang merespons, bahkan membukakan beberapa jawaban unik. Salah satunya, bahwa di era orde baru (orba), menggunakan jam tangan di tangan kanan menjadi simbol “perlawanan” terhadap rezim orba di kalangan militer. Jadi, bukan sekadar alasan kepraktisan atau higienis saja, tapi juga ada unsur politiknya. Astaga!

Menarik bukan, memahami betapa jauh gaya belajar berpengaruh pada cara berpikir dan cara kita meresponi segala sesuatu?

Dulu, saya tidak tahu bahwa ada latar belakang teori yang membangun gaya belajar saya, dan bagaimana gaya belajar tersebut berperan dalam perkembangan personalitas saya. Kini, dengan memahami gaya belajar melalui pendekatan Learning Style Inventory dari David Kolb, saya dapat belajar untuk lebih optimal dalam mengeksplorasi diri. Saya juga dapat belajar menumbuhkan stimulus dari dalam diri yang mampu merangsang kerja kognitif, afektif, dan psikomotorik saya dalam proses belajar. Ke depannya, pemahaman dan aplikasi yang tepat terhadap gaya belajar dari David Kolb ini dapat membantu saya sebagai seorang pendidik untuk memahami murid-murid saya, dan mendorong saya untuk mendesain strategi pembelajaran yang terbaik baik mereka. Ini adalah doa saya, Amin.

Pengenalan yang baik terhadap diri dapat membantu kita memahami serta meresponi lingkungan di luar diri kita dengan lebih baik. Menghindarkan kita dari kesalahpahaman, serta sikap mudah menghakimi seseorang hanya dengan menilai apa yang terlihat di permukaan. Sebab, apa yang terlihat, belum tentu mewakili kebenaran.”

Belajar Dari Jagung

Kisah ini saya tulis sebagai kenangan sekaligus ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada kakak saya, Teguh dan istrinya Caec...