Wednesday, 18 March 2020

Perjalanan Mengubah Perilaku

Designed by Freepik

Suatu hari, di jam makan pagi asrama, salah satu kakak tingkat yang baru saja kembali dari praktik satu tahun bercerita dengan semangat. Dia mengatakan bahwa di semester-semester awal, bersama seorang teman asrama, ia pernah berbuat “kenakalan”. Karena kelaparan, malam itu, ketika semua teman di asrama sudah terlelap tidur, mereka turun diam-diam untuk mengambil mie instan cup di warung kejujuran. Rupanya, bentuk ketidaktaatan ini ketahuan, sehingga mereka diwajibkan untuk membersihkan kamar mandi ruang makan selama seminggu penuh.

“Tadinya, saya pikir tidak akan berat, karena kami bisa melakukannya berdua. Ternyata, maksudnya masing-masing dari kami harus membersihkannya selama seminggu penuh! Astaga! Benar-benar kapok!!” ungkapnya, berapi-api.

Dapat dimengerti arti kata “kapok” yang diungkapkan kakak tingkat itu, sebab kami sama-sama menjalani sendiri padatnya jam kegiatan di sekolah, yang tidak hanya menguras pikiran, tapi juga menuntut tenaga dan stamina yang kuat. Terbayangkan, ketika semua mahasiswa yang lain dapat pulang beristirahat, mereka masih harus berjibaku menggosok kamar mandi yang telah seharian dipakai rekan-rekannya.

Cerita kakak tingkat ini kembali mencuat ketika saya belajar tentang teori belajar Behavioristik. Psikolog dan salah satu ilmuwan di Universitas Johns Hopkins, Thomas B. Roberts, dalam pengantar pembelajaran teori behavioristik mengungkap, bahwa nyaris semua perilaku manusia merupakan hasil dari pembelajaran. Setiap perilaku yang muncul merupakan respons dari berbagai stimulus yang diterima oleh individu tersebut. Dalam konteks belajar, maka stimulus adalah segala sesuatu yang diberikan guru kepada pembelajar. Sebaliknya, respons adalah reaksi atau tanggapan pembelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru.

Punishment, atau hukuman yang dialami oleh kakak tingkat saya tadi adalah salah satu bentuk penguatan atau reinforcement yang diberikan kepada naradidik dengan tujuan untuk mengubah perilakunya. Di mana naradidik mendapat konsekuensi yang tidak menyenangkan karena melakukan sesuatu, sebagai pembelajaran agar ia tidak lagi melakukannya.

Setelah saya amati, di era saya sekarang, ada beberapa reinforcement punishment yang diterapkan sekolah, terkait kegiatan belajar dan berasrama. Di antaranya, sanksi cuci piring bagi mereka yang terlambat datang di kegiatan olah raga bersama tanpa keterangan yang jelas. Ada juga denda untuk mereka yang terlambat tiba di ruang makan di jam seharusnya (pukul 06:55 WIB untuk makan pagi, dan 18:30 WIB untuk makan malam). Mereka harus membayar denda Rp10.000 jika terlambat makan pagi dan Rp15.000 jika terlambat makan malam. Jumlah ini cukup signifikan bagi mahasiswa asrama yang bergantung pada uang bulanan dari donor, atau biaya kiriman bulanan dari orang tua. Tentu, kita tidak ingin hasil jerih payah orang yang membiayai pendidikan kita ini terbuang akibat kebodohan kita sendiri.

Namun, tidak hanya bentuk reinforcement berupa hukuman yang kami temui di sekolah. Tidak sedikit juga reinforcement positif, berupa apresiasi sebagai penambah semangat belajar. Di antaranya, apresiasi kepada mahasiswa peraih indeks prestasi kumulatif tertinggi dan kepada mahasiswa yang mengalami lonjakan nilai tertinggi. Dalam ibadah pembukaan semester, nama-nama mereka akan dipanggil ke depan untuk mendapat reinforcement sosial, berupa tepukan tangan apreatif dari seluruh civitas akademika kampus.  Tidak berhenti di situ, mereka juga akan mendapat apresiasi berupa voucher pembelian buku dengan jumlah nominal yang cukup besar. Bagi kami, mahasiswa teologia yang masih banyak bergantung pada buku-buku berbahasa Inggris yang harganya selangit, voucher buku ini menjadi sangat signifikan. Sehingga mendorong mahasiswa yang lain untuk meningkatkan prestasi belajar mereka.

Meski teori belajar dengan pendekatan behavioristik merupakan yang paling kuno, tapi hingga saat ini masih sangat dibutuhkan. Hanya saja, penerapannya memang harus lebih diperhatikan, sehingga reinforcement atau stimulus yang diberikan tidak membuat naradidik melakukan sesuatu hanya karena mendapat “apreasiasi atau hadiah”, tetapi atas kesadaran pribadi. Dalam teori behavioristik fase kesadaran personal ini disebut sebagai reinforcement intrinsik – ada dorongan kesadaran pribadi untuk melakukan hal-hal baik yang perlu dilakukan.

Menarik, bukan? Cobalah untuk membuat menerapkan teori belajar behavioristik ini untuk proyek pribadi Anda, apakah untuk mendorong perubahan positif terhadap diri sendiri, orang terdekat kita, atau komunitas kita. Tulisan ini hanyalah sekelumit saja dari contoh praktik teori behavioristik yang saya temukan di lingkungan kampus dan berasrama di sekolah saya. Untuk pemahaman yang lebih komprehensif, saya sarankan membaca beberapa buku berikut ini:

1. Roberts, Thomas B. Four Psychologies Applied To Education: Freudian, Behavioral, Humanistic, Transpersonal. Massachusetts: Schenkman, 1975.
2. Schunk, Dale, H. Learning Theories: An Educational Perspective. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
3. Skinner, B.F. The Technology of Teaching. New York: Meredith Corporation, 1968.

Selamat belajar dan mengalami transformasi hidup!


Tuesday, 10 March 2020

Belajar Mengenal Diri & Memahami Orang Lain Melalui Gaya Belajar


Designed by Prostooleh

Seberapa banyak dari kita yang merasa frustasi karena gagal menangkap penjelasan guru atau dosen di dalam kelas-kelas perkuliahan?

Seberapa banyak juga dari kita yang kemudian diserang oleh rasa kantuk dan bosan, karena materi perkuliahan yang sangat teoritis. Sehingga, rasanya teori-teori tersebut hanya berlaku indah di alam ideal dan kurang relevan dengan kenyataan di lapangan yang seringkali sangat berbeda?

Atau, pernahkah juga kita dibuat gagal paham, bahkan jengkel, terhadap sesama rekan kita yang sulit menyerap materi perkuliahan yang menurut kita cukup mudah untuk dipahami?

Benarlah peribahasa ini: tak kenal, maka tak sayang. Inti persoalan sekaligus solusi dari berbagai pertanyaan di atas dapat kita temukan saat kita memiliki pengenalan dan pemahaman yang baik terhadap gaya belajar kita.

Ketika kita mengenal dengan baik gaya belajar kita, maka kita dapat menemukan sendiri kiat-kiat belajar yang memudahkan kita dalam menyerap suatu materi pembelajaran yang baru secara lebih efisien dan efektif. Lebih dari itu, kita juga menjadi pribadi yang dapat menerima dan menghargai perbedaan gaya belajar rekan-rekan kita yang lain, sehingga tidak dengan mudah menjatuhkan penilaian berdasarkan asumsi pribadi. Sebaliknya, dengan perbedaan yang ada kita justru bisa saling mengisi dan membantu dalam proses pembelajaran. Sehingga, tak ada rekan kita yang tertinggal.

Ada beragam perangkat analisis yang dapat kita gunakan untuk mengenal gaya belajar kita. Salah satunya, melalui pendekatan Learning Style Inventory (LSI) yang dikaji oleh David Kolb. David Kolb (1939) adalah seorang profesor dan pendidik dengan spesialisasi di bidang Experiential Learning, perubahan individu dan sosial, serta pengembangan karier dan pendidikan profesional. Dia juga pendiri dan ketua Experience Based Learning Systems (EBLS) yang terkenal dengan teori Gaya Belajarnya. Dalam pemahaman Experiential Learning, maka faktor garis keturunan, dan pengalaman hidup tertentu turut membentuk gaya belajar yang menjadi preferensi dari suatu individu. Pengalaman menjadi media belajar.

"Experiential learning posits that learning is the major determinant of human development and how individuals learn shapes the course of their personal development" David Kolb. (source: toolshero.com) 

Pembelajaran berdasarkan pengalaman menyatakan bahwa belajar adalah penentu utama perkembangan manusia, dan bagaimana individu belajar membentuk arah perkembangan pribadi mereka. Dengan kata lain, kegagalan memahami gaya belajar kita akan membuat kita tidak dapat memaksimalkan segenap potensi yang ada dalam diri kita secara optimal. Sayang sekali, bukan?

Kolb menginventariskan gaya belajar ke dalam empat proses pembelajaran, yaitu Concrete Experience (CE) yang menekankan pada pengalaman dalam keterlibatan secara langsung, Reflective Observation (RO) yang menekankan pada pengamatan secara detail dan deskripsi yang rinci, Abstract Conceptualization (AC) yang menekankan pada penggunaan logika, ide, dan konsep, serta Active Experimentation (AE) yang menekankan pada kekuatan pengaruh dalam membuat suatu perubahan. Anda bisa mempelajari lebih dalam ciri khas dari masing-masing gaya belajar ini dengan meng-klik tautan berikut: The Learning Style Inventory.

Menggunakan perangkat tes sederhana yang tersedia secara online, saya berusaha mencari tahu seperti apa gaya belajar saya. Meski tidak sekomprehensif tes lengkap David Kolb yang berbayar, setidaknya cara ini menjadi langkah awal yang sangat membantu proses pengenalan terhadap salah satu aspek yang cukup penting dalam diri saya. Klik tautan ini untuk mencari tahu: Apa gaya belajar Anda?

Tes ini meliputi pemberian skor (dari 1 sampai 4) berdasarkan pada tingkat preferensi kita terhadap 4 set pernyataan, dengan masing-masing set terdiri dari 10 pernyataan pendek. Skor 1 untuk pernyataan yang paling tidak sesuai dengan preferensi kita, hingga skor 4 untuk pernyataan yang paling sesuai dengan preferensi kita. Total skor dari masing-masing set ini akan menggambarkan seperti apakah gaya belajar kita, dan seperti apa kita menghubungkan antara kemampuan kita menyerap ilmu dengan praktiknya.

Hasilnya cukup mencerahkan! Setelah menghabiskan waktu sekitar 30-an menit (dari alokasi waktu yang disarankan, yaitu 30-45 menit), saya mendapati bahwa skor tertinggi saya (40) adalah tipe Concrete Experience (CE), dengan pengaruh signifikan dari tipe Reflective Observation (RO) yang memperoleh skor 36. Apa artinya?


© concept david kolb, adaptation and design alan chapman 2005-06, based on Kolb's learning styles, 1984


Mari kita bersama-sama menyimak bagan konsep Gaya Belajar David Kolb di atas untuk dapat membaca/mengiterpretasikan hasil gaya belajar kita. Bagan ini menampilkan dua sumbu, yaitu sumbu horizontal yang mewakili “Bagaimana Cara Kita Melakukan Sesuatu”, dan sumbu vertikal yang mewakili “Bagaimana Cara Kita Berpikir Tentang Sesuatu”. Apabila ditarik garis koordinat, maka dengan nilai skor 40 untuk CE dan 36 untuk RO, maka gaya belajar saya yang dominan berada di kuadran “Diverging” (perhatikan gambar diagram di bawah ini).


source: med.fau.edu


Menurut Kolb, dalam bukunya Experiential Learning: Experience as the source of learning and development, mereka yang memiliki gaya belajar dominan di kuadran “Diverging” dapat belajar secara maksimal dengan menggabungkan kekuatan perasaan (feeling) dan pengamatan (watching). Orang-orang tipe “Diverging” ini dikatakan unggul dalam kemampuan imajinasi dan melihat situasi kongkret dari banyak sudut pandang yang berbeda, kemudian menghubungkannya menjadi sesuatu yang bulat dan utuh. Mereka menyukai tugas belajar yang menuntutnya untuk menghasilkan ide-ide dan gemar mengumpulkan berbagai informasi. Mereka juga menggemari topik dan isu seputar kesusastraan, budaya, sejarah, dan ilmu-ilmu sosial lainnya. “Why?” menjadi pertanyaan favorit orang dengan gaya belajar tipe “Diverging”.

Dalam refleksi saya, hasil assessment atau penilaian pribadi ini membawa saya pada sebuah kesadaran yang lebih jernih tentang aspek pribadi yang belum saya pahami sebelumnya. Pemahaman ini memberikan latar belakang yang cukup komprehensif tentang bagaimana cara pandang saya saat melihat suatu masalah atau situasi, cara saya mempersepsi sesuatu hal, dan menanggapi berbagai stimulus dari dalam maupun dari luar dalam proses pembelajaran.

Pemahaman terhadap gaya belajar saya ini membantu saya untuk menghubungkan titik-titik krusial dalam perjalanan hidup saya. Bagaimana sejak kecil saya sangat tertarik dengan segala hal yang mengutamakan kerja imajinasi. Saat usia 6 tahun, saya gemar membuat kerajinan tangan berupa karakter-karakter tokoh dalam dongeng yang saya baca. Saking banyaknya, ayah saya membuat sebuah “pameran kecil” dengan mengundang teman-teman bermain saya di sekeliling rumah. Bahkan, ayah membagikan tiket kertas kecil sebagai tanda masuk bagi mereka…Lucu sekali, saat mengenang kembali masa ini, bagaimana teman-teman saya dengan sangat antusias mencari tahu cerita di balik benda kerajinan tangan yang saya buat.

Kegemaran saya pada dunia literasi juga tumbuh sejak usia dini. Sejak bangku SD saya gemar mengamati segala sesuatu di sekitar saya dan menuangkannya dalam bentuk tulisan, seperti cerita pendek, atau puisi. Bahkan, saat saya duduk di kelas 4 SD saya pernah membuat koran sendiri dengan menyadur kumpulan berita pendek menarik “Kilasan Kawat Sedunia” dari Koran Kompas, yang kemudian saya fotokopi dan bagikan ke rumah-rumah tetangga. Untungnya, “koran” saya “laku” dan disambut baik oleh para ibu dan bapak di lingkungan sekitar rumah. Hahahaha…


Designed by Freepik


Kedua orang tua saya suka membaca, mungkin hal ini juga yang mendorong saya dan kakak saya suka membaca. Sejak duduk di bangku SD saya sudah membaca karya-karya literatur yang cukup berat, seperti antologi karya sastrawan asal Rusia, seperti Anton Chekov dan Nikolai Gogol, karya-karya sastrawan dan kritikus sosial asal Inggris Charles Dickens, atau novel karya Romo Mangun Wijaya, seorang pemimpin agama Katolik sekaligus sastrawan dan budayawan dari Yogyakarta. Buku roman Burung-Burung Manyar karya Romo Mangun, menjadi salah satu bacaan “dongeng” sebelum tidur – selain cergam Tintin – yang biasa dibacakan ayah. Namun, dari cergam Tintinlah sejak kecil saya terinspirasi untuk menjadi seorang jurnalis – sebuah pilihan profesi yang saya tekuni selama 14 tahun, sebelum saya meresponi panggilan sebagai pelayan fulltimer dengan kembali ke bangku kuliah, mengambil magister pendidikan di salah satu sekolah tinggi teologi di tanah air. Dari tes ini juga saya baru tahu jika jurnalis termasuk salah satu dari sederetan jenis profesi yang banyak mengandalkan gaya belajar tipe “Diverging”.

Kegemaran saya untuk melakukan observasi biasanya berlanjut dengan sebuah pertanyaan “Mengapa?” di kepala. Pertanyaan inilah yang dalam permenungan saya berkembang menjadi tulisan-tulisan reflektif pribadi yang juga bisa dibaca dalam blog ini. Saya percaya, bahwa segala sesuatu yang diizinkan Tuhan hadir atau melintas dalam kehidupan kita adalah materi pembelajaran yang layak disimak. Apakah itu obrolan kecil antara sopir bus angkutan umum dan kondekturnya yang membuat saya belajar tentang arti mencintai, celetukan polos sopir bajaj tentang dilema rakyat kecil di tengah gempita panggung perpolitikan yang kaya intrik dan konflik kepentingan, dan banyak lagi lainnya.

Observasi juga melatih saya untuk tidak cepat mengambil sebuah kesimpulan. Setidaknya, saya akan melakukan riset kecil untuk menguji asumsi saya. Apakah itu dengan membuka kuis kecil-kecilan melalui media sosial saya untuk mengetahui apa pendapat orang tentang suatu topik, atau melakukan riset literatur secara online dari sumber-sumber yang terpercaya. Melalui cara ini, saya belajar untuk memandang suatu masalah atau isu dari berbagai sudut pandang. Sehingga, cakrawala pandang saya pun tidak menjadi sempit.

Bicara tentang riset kecil-kecilan, dalam sebuah observasi, saya ingin mengetahui alasan mengapa orang lebih suka mengenakan jam tangan di tangan kiri. Bagi pengguna jam tangan di tangan kanan seperti saya, fenomena ini membuat saya penasaran. Saya pun membuat survei kecil-kecilan dengan menghitung penumpang Transjakarta yang menggunakan jam di tangan kanan dan di tangan kiri. Seperti dugaan, hanya sekitar 5% saja dari mereka yang menggunakan jam di tangan kanan, termasuk saya. Hasil ini kemudian saya lemparkan di status media sosial untuk mendapatkan tanggapan dari teman-teman saya. Di luar dugaan, banyak yang merespons, bahkan membukakan beberapa jawaban unik. Salah satunya, bahwa di era orde baru (orba), menggunakan jam tangan di tangan kanan menjadi simbol “perlawanan” terhadap rezim orba di kalangan militer. Jadi, bukan sekadar alasan kepraktisan atau higienis saja, tapi juga ada unsur politiknya. Astaga!

Menarik bukan, memahami betapa jauh gaya belajar berpengaruh pada cara berpikir dan cara kita meresponi segala sesuatu?

Dulu, saya tidak tahu bahwa ada latar belakang teori yang membangun gaya belajar saya, dan bagaimana gaya belajar tersebut berperan dalam perkembangan personalitas saya. Kini, dengan memahami gaya belajar melalui pendekatan Learning Style Inventory dari David Kolb, saya dapat belajar untuk lebih optimal dalam mengeksplorasi diri. Saya juga dapat belajar menumbuhkan stimulus dari dalam diri yang mampu merangsang kerja kognitif, afektif, dan psikomotorik saya dalam proses belajar. Ke depannya, pemahaman dan aplikasi yang tepat terhadap gaya belajar dari David Kolb ini dapat membantu saya sebagai seorang pendidik untuk memahami murid-murid saya, dan mendorong saya untuk mendesain strategi pembelajaran yang terbaik baik mereka. Ini adalah doa saya, Amin.

Pengenalan yang baik terhadap diri dapat membantu kita memahami serta meresponi lingkungan di luar diri kita dengan lebih baik. Menghindarkan kita dari kesalahpahaman, serta sikap mudah menghakimi seseorang hanya dengan menilai apa yang terlihat di permukaan. Sebab, apa yang terlihat, belum tentu mewakili kebenaran.”

Wednesday, 12 February 2020

Menabur Pertanyaan Menuai Jawaban: Sebuah Refleksi Pembelajaran


<a href="https://www.freepik.com/free-photos-vectors/background">Background photo created by freepik - www.freepik.com</a>
Jadilah tanah yang subur untuk ditanami


Sebagai mahasiswi teologia dengan latar belakang pendidikan pertanian, saya selalu tertarik dengan berbagai perumpamaan yang dipakai Yesus untuk mengajar orang banyak dan murid-murid-Nya. Salah satunya yang cukup terkenal dan berkesan bagi saya adalah perumpamaan penabur.

Rasanya menyenangkan, membayangkan saya ikut duduk di tepi Danau Galilea, bersama orang banyak dan para murid, mendengarkan Yesus mengajar dari atas perahu yang ditambatkan di situ. Aliran angin sejuk dari danau seketika meredakan sengatan Matahari dan menghapus kepenatan. Dilatari suara riak ombak dan kicau burung, Yesus pun mulai mengajar:

"Dengarlah! Adalah seorang penabur keluar untuk menabur.

Pada waktu ia menabur sebagian benih itu jatuh di pinggir jalan, lalu datanglah burung dan memakannya sampai habis.

Sebagian jatuh di tanah yang berbatu-batu, yang tidak banyak tanahnya, lalu benih itupun segera tumbuh, karena tanahnya tipis.

Tetapi sesudah matahari terbit, layulah ia dan menjadi kering karena tidak berakar.

Sebagian lagi jatuh di tengah semak duri, lalu makin besarlah semak itu dan menghimpitnya sampai mati, sehingga ia tidak berbuah.

Dan sebagian jatuh di tanah yang baik, ia tumbuh dengan suburnya dan berbuah, hasilnya ada yang tiga puluh kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang seratus kali lipat."

Dan kata-Nya: "Siapa mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar!"

Seperti umumnya perkuliahan atau pembelajaran di kelas, keaktifan murid bertanya menjadi salah satu ukuran sejauh mana seseorang ingin belajar. Jelas, bahwa Yesus tengah mengajar mereka dengan menggunakan metode perumpamaan, yang bisa ditafsirkan secara beragam sesuai dengan konteks kehidupan pribadi lepas pribadi. Mereka yang cukup puas dengan hasil permenungan pribadi ini akan pulang tanpa merasa perlu untuk bertanya lebih dalam. Mereka yang tidak paham dan tidak mau ambil pusing pun akan segera beranjak pergi. Namun, sebagian lainnya yang ingin belajar lebih dalam, tetap tinggal. Terhitung di antara kelompok yang terakhir ini adalah murid-murid Yesus. “Guru, apa arti perumpamaan itu?”

Saya yakin, selama mendengarkan Yesus mengajar, para murid melakukan usaha interpretasi, melihat hubungan di antara komponen-komponen dari perumpamaan yang disampaikan Sang Guru. Mereka bisa melihat hubungan antara benih dengan kondisi tanah, benih dengan unsur pengganggu, seperti burung dan semak berduri, dan bagaimana semua relasi antar komponen itu memberikan hasil yang berbeda. Hanya saja, mereka kesulitan untuk mengaitkan semua komponen tadi dan menarik kesimpulan yang berlaku dalam kontekstual kehidupan.

Awalnya, saya heran, mengapa Yesus harus menunggu para murid untuk bertanya? Mengapa tidak dari awal saja Ia menjabarkan arti dari perumpamaan tersebut? Dalam refleksi inilah saya belajar bahwa ada kalanya seorang guru memberikan ruang bebas untuk menguji kesungguhan seorang murid untuk berusaha menggali pengetahuan dan pemahaman lebih dalam lagi.

Di momen refleksi inilah saya teringat pada pernyataan Yesus di injil Matius 7:7-8 – “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan.”

Pencarian para murid terhadap arti di balik perumpamaan yang diajarkan oleh Yesus itu membuahkan pemahaman yang benar, komprehensif, mencerahkan, dan mengubahkan.

Pemahaman yang benar – sebab dengan bertanya, mereka mengetahui bahwa penabur dalam perumpamaan tersebut sedang menaburkan benih yang adalah firman.

Komprehensif – sebab Yesus kemudian menjelaskan setiap perumpamaan dengan gamblang dan mendalam, bahwa orang-orang yang di pinggir jalan, tempat firman itu ditaburkan, ialah mereka yang mendengar firman, lalu datanglah Iblis dan mengambil firman yang baru ditaburkan di dalam mereka.

Demikian juga yang ditaburkan di tanah yang berbatu-batu, ialah orang-orang yang mendengar firman itu dan segera menerimanya dengan gembira, tetapi mereka tidak berakar dan tahan sebentar saja. Apabila kemudian datang penindasan atau penganiayaan karena firman itu, mereka segera murtad.

Dan yang lain ialah yang ditaburkan di tengah semak duri, itulah yang mendengar firman itu, lalu kekuatiran dunia ini dan tipu daya kekayaan dan keinginan-keinginan akan hal yang lain masuklah menghimpit firman itu sehingga tidak berbuah.

Dan akhirnya yang ditaburkan di tanah yang baik, ialah orang yang mendengar dan menyambut firman itu lalu berbuah, ada yang tiga puluh kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, dan ada yang seratus kali lipat.

Mencerahkan – sebab, penjelasan Yesus yang komprehensif ini membukakan wawasan baru kepada murid-murid-Nya tentang bagaimana natur indvidu dalam meresponi firman, dan konsekuensinya dari masing-masing respons tersebut.

Mengubahkan – Saya yakin, para murid dan setiap orang yang mendengar dan mengkontemplasikan pengajaran Yesus ini terpanggil untuk mengambil sikap hidup atau respons yang benar, yaitu menjadi bagian dari benih yang ditabur di tanah yang subur dan membuahkan hasil panenan yang berlipat ganda.

Kembali kepada kehidupan sehari-hari, saya percaya bahwa segala sesuatu yang diizinkan Tuhan mampir dalam kehidupan kita sejatinya merupakan materi pembelajaran hidup. Saya membayangkan Tuhan dengan cermat dan teliti merancang sebuah kurikulum pembelajaran bagi setiap anak-Nya, masing-masing sesuai dengan keunikan karakter dan kesanggupan mereka.

Dalam pertimbangan hikmat-Nya, setiap materi pembelajaran hidup tersebut telah melalui proses seleksi ketat dan terukur, pas dengan takaran Anda dan saya. Alih-alih berhenti pada pertanyaan menggugat "Why God, why?", kita mulai belajar untuk bertanya, "What do you want me to learn, God?" Pertanyaannya lagi adalah, "Maukah kita belajar?" 

Monday, 27 January 2020

Menjadi Pembelajar di Era Post Truth, Sebuah Refleksi




"Sebodoh-bodohnya keledai, ia tidak akan jatuh dua kali ke dalam lubang yang sama.

Kita tentu akrab dengan peribahasa di atas. Jika keledai yang bodoh saja bisa belajar untuk tidak mengulang kesalahan yang sama, terlebih manusia yang dikaruniai akal dan budi. Apakah pendapat ini sepenuhnya benar? Menurut saya, permasalahan terbesar kita sebagai manusia sebenarnya tidak terletak pada kecakapan kognitif kita, tetapi pada rendahnya keinginan untuk belajar.

Belajar tidak berhenti pada tahapan tahu. Terkait dengan perumpamaan di atas, maka belajar tidak cukup pada tahu bahwa ada lubang yang harus dihindari. Tetapi, paham mengapa lubang tersebut harus dihindari, dan apa konsekuensinya jika kita terjatuh dua kali ke dalamnya? Belajar hampir selalu mengharuskan kita untuk melihat lebih dalam dan lebih detail lagi. 

Dalam pemahaman yang lebih dalam, belajar merupakan proses berkelanjutan yang dilakukan secara sengaja untuk memperoleh pengetahuan, kecakapan, dan pengalaman baru ke arah yang lebih baik, termasuk di dalamnya tidak mengulang kesalahan yang sama. Jadi, di dalam proses belajar ada transformasi hidup. Setidaknya, demikianlah definisi belajar yang saya sarikan dari gabungan pendapat beberapa pemikir pendidikan, seperti Suryabrata (1991) dan Witherington (1952).

Pertanyaannya, apa yang membuat orang malas belajar? Disadari atau tidak, pengaruh budaya serba instan telah membangun pola berpikir dan bertindak yang serba cepat juga. Ini yang membuat orang tidak terlalu suka, atau bahkan mengabaikan proses. Dari sudut pandang teori pembelajaran menurut Noel Burch, belajar adalah tahapan dari kita yang awalnya tidak sadar dan tidak tahu, menjadi sadar bahwa kita tidak tahu, kemudian menjadi tahu dan paham bagaimana mengaplikasikan atau mendaratkan pengetahuan tersebut di dalam konteks kehidupan, hingga akhirnya dapat menguasai suatu topik atau kompetensi tersebut dan mampu meneruskannya kepada orang lain.

Tentu proses belajar seperti di atas membutuhkan waktu. Masalahnya, budaya instan membuat orang tidak sabar, dan memutuskan untuk puas dengan "sekadar tahu". Alhasil, banyak orang terjebak dalam berbagai asumsi subjektif tak berdasar saat menyikapi sesuatu. Celakanya lagi, berbekal pengetahuan yang hanya bersifat permukaan ini, seseorang berani mengambil suatu keputusan penting.

Budaya berpikir instan ini tumbuh subur di era media sosial seperti sekarang. Orang saling berlomba menjadi yang pertama dalam berpendapat. Tidak jarang, lontaran reaksi dan opini ini hanya dipicu oleh sebaris status orang tak dikenal, tanpa tahu duduk permasalahan yang sesungguhnya. Sama seperti orang yang berkomentar ngawur tanpa konteks tentang suatu topik hanya berbekal membaca tajuk pemberitaan.

Parahnya lagi, oleh dukungan netizen yang menjadi follower setia, suatu opini yang tidak jelas objektivitasnya ini bisa menjadi viral dan memengaruhi opini publik. Tidak heran, jika dalam kondisi seperti ini kebenaran menjadi sangat relatif, bergantung pada kelompok pendukung yang mana. Kita mengenalnya dengan istilah post truth.

Mereka yang enggan belajar akan mudah diombang-ambingkan berbagai angin pengajaran, baik yang ekstrem kanan ataupun ekstrem kiri. Akibatnya, sulit bagi mereka untuk menentukan mana yang baik atau tidak baik, dan mana yang bermanfaat bagi kemaslahatan bersama, atau yang justru membawa menuju kehancuran. 

Sebagai seorang pembelajar, kita harus mengembangkan budaya berpikir kritis dan ilmiah, yang memahami, dan menguji berbagai isu yang sedang berkembang di tengah lingkungan sosial dan masyarakat. Hal ini sulit terpenuhi jika kita tidak terlebih dahulu diisi dan mengisi diri dengan berbagai materi pembelajaran terkait. Apakah itu melalui buku-buku, kuliah umum, pemberitaan media massa terpercaya, maupun dari hasil forum diskusi yang ada. 

Namun, hanya mengandalkan kognisi tanpa afeksi juga akan membawa seseorang pada hasil pembelajaran yang timpang. Di era post truth yang hanya mementingkan ego kelompok seperti sekarang, sisi afeksi ini bisa ditumbuhkan melalui sebuah kesadaran bahwa ada kontrak sosial dalam kehidupan kita, di mana kita saling berbagi ruang hidup, ruang publik, ruang berpendapat, ruang ekspresi, dan banyak lagi. Kesadaran hidup berkomunitas ini yang membuat kita dapat saling menghargai dan menghormati dalam keberagaman.  

Semua ini lagi-lagi berujung pada proses yang dalam dinamikanya bisa memunculkan banyak tantangan. Bagaimanapun, sebagai seorang pembelajar, kita dituntut untuk setia di dalamnya. Mendorong diri untuk terus belajar dalam mentalitas bahwa kita “belum mencapai garis final” dalam pembelajaran kehidupan ini. Namun, di antara semua itu, seorang pembelajar harus dapat membawa pembelajarannya ke dalam konteks kehidupan sehari-hari. Sebab, hanya dengan melakukan apa yang ia pelajari, transformasi bisa terjadi.



Belajar Dari Jagung

Kisah ini saya tulis sebagai kenangan sekaligus ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada kakak saya, Teguh dan istrinya Caec...