Kisah
ini saya tulis sebagai kenangan sekaligus ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada kakak saya, Teguh dan istrinya Caecilia, yang mengajarkan saya tentang nilai kesetiaan dan kekuatan doa,
sahabat saya Kurnia Dwi Lestari, dan keluarga besar terkasih saya di
Yogyakarta. Terutama, bagi mereka yang pernah gagal…
“Pernah mengalami kegagalan?” tanya salah
satu dari jajaran Board Directors salah satu harian berbahasa Inggris di tanah air pada saya.
Duduk di sebuah kursi, di hadapan petinggi media yang hebat ini, nyali saya
awalnya sempat ciut. Tetapi, entah kenapa, pertanyaan itu justru menggelorakan
semangat di dada saya. Dengan penuh percaya diri, suara lantang, dan nada
bangga saya menjawab, “Ya, saya pernah gagal!”
Melihat ekspresi mereka saat itu, agaknya
saya menjadi orang pertama yang mengakui kegagalan seperti seseorang yang
sedang memamerkan kesuksesan. Namun, saya punya alasan untuk berbangga dengan
kegagalan saya. Sebab, fase ini membuat saya belajar hal besar tentang
kehidupan, yang akan terus melekat dalam jati diri saya sebagai manusia.
“Dari semua benih jagung yang saya sebar ke
lahan, tidak ada satu pun yang muncul dari tanah dan tumbuh!” lanjut saya, menceritakan
penelitian tanaman jagung manis, sebagai syarat kelulusan saya sebagai
mahasiswa Pertanian. Mendengar kalimat ini, beberapa di antara para pewawancara itu ikut terhenyak dalam duduknya. Mungkin di saat yang sama, mereka
berpikiran, jangan-jangan mereka telah salah pilih. Padahal, ini adalah tahapan
akhir dari serangkaian proses penyaringan reporter baru di harian berbahasa
Inggris itu.
Menyandang status sebagai mahasiswa tingkat
akhir dari Fakultas Pertanian dari universitas ternama, seperti Universitas
Gadjah Mada, kegagalan saya ini menjadi bahan tertawaan para petani, yang lahannya
berada di sekeliling saya. “Woalah, Mbak…kok kados ngaten nggih?” (Duh, Mbak,
kok bisa sampai begitu ya?).
Padahal, jagung, adalah salah satu tanaman pertanian
yang paling gampang tumbuh dan tidak neko-neko. Dia bisa tumbuh di hampir semua
jenis tanah dengan kondisi iklim yang beragam. Bahkan, jika benihnya dilempar
begitu saja ke tanah, ia akan tumbuh. Sungguh memalukan! Rasanya, ingin saya tenggelamkan
saja wajah saya ke lahan sawah yang kosong melompong itu.
Semuanya bermula dari keinginan mengikuti
beberapa teman seangkatan yang demi mengejar kelulusan, membarengi program
Kuliah Kerja Nyata (KKN) mereka dengan melakukan penelitian untuk skripsi.
Mengajukan KKN di semester pendek yang lebih singkat, yaitu 3 bulan dari waktu
normal 6 bulan, saya mengajukan permohonan melakukan KKN di Sanden, Bantul, DIY.
Sebab, lokasi KKN ini berdekatan dengan lokasi sawah penelitian saya yang juga
di daerah Bantul.
Mengandalkan pemikiran bahwa jagung bukan
tanaman yang rewel, saya percayakan pengolahan tanah dan pemeliharaannya kepada
petani lokal. Saya hanya datang menyebar benih, memberikan perlakuan, dan
nantinya melakukan pengukuran terhadap tanaman sampel. Kenyataannya, jangankan
bisa melakukan pengkuran tanaman, tumbuh saja tidak! Ngenes!
Kegagalan ini semakin komplit dengan
perolehan nilai KKN yang tidak maksimal. Ketika semua teman saya mayoritas
mendapat nilai “A”, saya hanya mendapat nilai “B”, sebab konsentrasi saya terbagi-bagi,
hingga beberapa program KKN saya, seperti mengajari ibu-ibu desa membuat nata de
coco juga gagal!
KEJUTAN
TUHAN
Sudah menjadi bahan tertawaan petani,
penelitian gagal, waktu terbuang, dan nilai KKN tidak maksimal. Semuanya ini
membuat mental saya jatuh dan sedikit trauma, sehingga saya sempat malas
mengulang penelitian. Takut gagal lagi. Di saat-saat genting seperti inilah, Tuhan
mengirimkan sahabat-sahabat yang setia mendorong spirit dan mengulurkan tenaga
untuk membantu saya. Salah satunya, sahabat saya itu adalah Kurnia,
putri seorang petani dari Bantul, dan rekan satu angkatan yang membantu saya
sejak mulanya. Tahu saya mogok mengulang penelitian, tanpa sepengetahuan saya,
ia memesankan lahan baru di kompleks penelitian fakultas pertanian UGM di
Sleman, DIY.
“Non, lahan sudah dipesan dan dipersiapkan untuk ditanami. Lahan itu banyak yang ngantre. Kamu punya jatah waktu 4 bulan,” ujarnya, santai, membuat saya terbengong-bengong. Sebab, dengan kebutuhan waktu tiga bulan bagi jagung manis untuk tumbuh hingga panen, pernyataannya ini membuat saya tidak punya pilihan lain, selain harus segera menanam! Kali ini, sejak awal, saya tidak menyerahkan penggarapannya pada petani lain, tapi saya kerjakan sendiri dengan bantuan tim pendukung, yaitu, sahabat dan keluarga saya, termasuk para sepupu yang tinggal tak jauh dari lokasi.
“Non, lahan sudah dipesan dan dipersiapkan untuk ditanami. Lahan itu banyak yang ngantre. Kamu punya jatah waktu 4 bulan,” ujarnya, santai, membuat saya terbengong-bengong. Sebab, dengan kebutuhan waktu tiga bulan bagi jagung manis untuk tumbuh hingga panen, pernyataannya ini membuat saya tidak punya pilihan lain, selain harus segera menanam! Kali ini, sejak awal, saya tidak menyerahkan penggarapannya pada petani lain, tapi saya kerjakan sendiri dengan bantuan tim pendukung, yaitu, sahabat dan keluarga saya, termasuk para sepupu yang tinggal tak jauh dari lokasi.
Masa menebar benih pun tiba. Hari itu ada
Kurnia, kakak laki-laki saya Teguh, dan kekasihnya, Mba Sisil, yang kini
menjadi pendamping hidupnya. Mereka datang untuk membantu. Lubang-lubang yang
dibuat dengan tongkat kayu telah siap ditanami. Dengan keraguan, saya mulai memasukkan
benih jagung, 5 hingga 7 benih setiap lubangnya. Bayangan traumatis bahwa benih
ini akan gagal tumbuh seperti pengalaman penelitian sebelumnya menghantui saya.
Sampai lamat-lamat dari belakang, saya mendengar suara kakak saya. “Tuhan,
berkati benih-benih ini agar tumbuh. Supaya adik saya bisa lulus kuliah dengan
nilai baik, Amin.”
Doa yang sama saya dengar setiap kali dia
memasukkan benih-benih ke dalam lubang di lahan berukuran 800 meter persegi tiu. Tanpa disadari, air mata saya meleleh.
Malu ketahuan, saya menyekanya cepat-cepat dengan tangan. Di hati saya
bercampur antara rasa haru dan malu. Haru, melihat ekspresi sayang kakak saya
satu-satunya yang sering saya repotkan itu. Malu, karena saya melupakan satu
proses paling fundamental, yaitu doa!
Benar saja, tanaman jagung saya tumbuh
begitu subur. Kalau sebelumnya saya jadi bahan tertawaan para petani, kali ini
banyak petani berhenti di lahan yang saya sewa (disewakan sahabat
saya) untuk mengagumi tanaman saya. “Jagung bule”, begitu julukan mereka
terhadap tanaman saya. Sebab ukuran pokok tanaman, dari tingginya, diameter
batang, dan daunnya, melebihi tanaman jagung kebanyakan. Setiap kali saya
mengambil sampel tanaman dari setiap petak untuk mengukur faktor-faktor
pertumbuhannya, beberapa petani mengantre untuk mendapatkan sisanya sebagai
pakan ternak.
“Sapi-sapi mereka suka sekali makan tanaman
jagung dari Mba,” lapor salah satu penjaga kawasan lahan penelitian KP4. Hah,
dari mana petani tahu kalau tanaman jagung saya didoyani oleh sapi-sapi mereka.
“Biasanya, kalau mereka makan biasa saja, tapi kali ini sapi-sapi itu makannya
super lahap,” lanjut si bapak, sumringah. Menurut mereka itu karena tanaman
jagung saya sangat segar, hijau royo-royo, dan manis bagi para sapi! Hahahaha…syukurlah!
Tidak itu saja, pada saat mulai panen,
tanaman jagung yang rata-rata membuahkan dua tongkol di ketiak daunnya itu,
kini membuahkan hingga empat tongkol jagung di setiap tanaman! Kalau biasanya panen
jagung rata-rata berlangsung dua kali. Di kasus saya, panen jagung ini
berlangsung hingga lebih dari empat kali! Seperti tidak habis-habis! Ukuran
tongkol jagung yang lebih besar dari ukuran normal, serta barisan bulir jagung
yang sempurna dan rapi.
Rasa-rasanya, hampir semua rumah tetangga
di sekeliling rumah si Mbah saya kebagian satu tas plastik besar penuh, sekitar
5 kilo. Kira-kira ada sekitar 20 rumah yang kebagian jatah. Semua memuji jagung
yang rasanya super manis dan segar itu. Mulai dari dibakar, direbus, disayur,
dibuat bakwan jagung…itu pun masih menyisakan segundukan tinggi jagung manis.
Sampai seorang nenek tetangga rumah kemudian menawarkan diri untuk membeli sisa
segundukan, yang kira-kira seberat satu kwintal itu.
“Ambil saja Mbah, tidak usah bayar. Saya
malah senang, akhirnya jagungnya habis juga,” ujar saya. Tetapi si Mbah menggeleng,
ia harus membelinya, karena jagung itu akan dijual kembali olehnya di pasar. Akhirnya,
saya pun menerima beberapa lembar uang bernilai total sekitar 400.000 rupiah yang dikeluarkan dari lipatan setagennya (sabuk pengencang dari kain pada kebaya Jawa). Astaga! Saya tidak menyangka ia akan menghargai jagung saya setinggi
itu. Itu adalah nilai uang terbesar, hasil jerih payah saya, bahkan lebih besar
dari jumlah uang bulanan kiriman orang tua yang sebesar Rp250.000.
Terngiang kembali lamat-lamat, doa yang
dipanjatkan kakak laki-laki saya saat menaburkan benih ke dalam setiap lubang
di lahan seluas 800 meter persegi itu. Selama ini, saya pikir, saya
bisa karena saya, tetapi pengalaman ini dalam perjalanannya menjadi bukti
empiris bahwa “Bukan yang menanam, bukan juga yang menyiram, melainkan Allah
yang menumbuhkan.”
Kembali kepada wawancara kerja saya. Salah satu dari mereka
bertanya tentang akhir kisah dari kegagalan saya yang membanggakan itu. “Penelitian
saya sukses. Hasil panen meningkat 200% dibanding tanaman kontrol yang tidak
mendapat perlakuan. Dan saya lulus dengan nilai skripsi penelitian A,” ungkap
saya, sumringah. Spontan, mereka bertepuk tangan dan tertawa senang mendengar
penjelasan saya. Saya pun diterima menjadi bagian dari keluarga besar di harian berbahasa Inggris tersebut, tempat pertama pembelajaran terbaik saya sebagai seorang jurnalis.
Doa
menghadirkan kuasa Tuhan yang tak terbatas atas diri manusia yang
terbatas.
Kekuatan
doa sanggup menembus kemustahilan!