"Siapakah di antara kamu yang
karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan
hidupnya?"
Matius 6:27
Setiap
orang memiliki tanggal-tanggal penting dalam hidupnya. Entah itu hari
kelahiran, pertama kali diterima bekerja, tanggal pernikahan, dan masih banyak
lagi. Buat saya, hari bersejarah itu terjadi di awal masa krisis moneter 1998.
Waktu itu saya tengah memasuki minggu ujian semesteran menuju tahun ke-2
perkuliahan di salah satu universitas negeri di Yogyakarta.
Kisah
bermula dengan sebuah teriakan histeris dari arah kamar mandi sebuah kos-kosan.
Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka, dan seorang wanita berlari tergopoh-gopoh
dengan rambut basah dan sisa busa syampo menempel di sana sini. “Gila! Ujian
kan harusnya jam 9 pagi, bukan 11 siang,” teriaknya sambil berlari menuju
kamar. Sementara itu, jam di atas meja sudah menunjukkan 30 menit lewatnya dari pukul
9.00 WIB!
Ya..ya..wanita malang itu adalah saya. Nggak lucu kalau setelah mati-matian belajar semalaman (ehem...sistem kebut semalam), tiba-tiba di hari “H” saya tidak maksimal mengerjakan ujian gara-gara kehilangan waktu! Dengan gerakan super kilat saya berganti pakaian, dan dengan rambut basah yang belum disisir, saya lari pontang panting tanpa henti menuju kampus yang berjarak sekitar 100 meter dari tempat kos. Tak peduli apa komentar orang di sepanjang jalan yang saya lewati. Sebaliknya, saya terus merutuki diri, kenapa harus pakai acara salah membaca jadwal segala!
Kehadiran saya yang berisik di ruang ujian memecah keheningan. Sejurus kemudian semua mata memandang ke arah saya dengan ekspresi antara takjub, sebal, dan kasihan. Saya sendiri tak kalah heran, sebab di antara semua wajah tersebut tak ada satu pun teman seangkatan saya.
Menyadari kesalahan ini, saya langsung memutar badan, menutup pintu di belakang saya dan berlari ke papan jadwal. Astaga! Pantas saja, ternyata ruang tadi masih dipakai oleh para senior. Sementara, jadwal ujian saya memang benar di pukul 11.00 WIB, bukan pukul 9.00 WIB. Kacau!! Begini akibatnya, kalau serba grabak-grubuk.
Setelah mempermalukan diri sendiri, setidaknya sekarang saya bisa bernapas lega. Saya sedang berjalan dengan tenang menyusuri koridor yang sepi, ketika seorang mahasiswi kakak angkatan yang berjalan berlawanan arah tiba-tiba membalikkan badannya dan berjalan cepat menjauh. Sekali dia menoleh ke belakang dengan tatap aneh. Berusaha sopan, saya melambaikan tangan. Kali ini ia malah berlari!
Hmmmm….aneh sekali! Tak habis pikir saya dibuatnya. Wajahnya begitu ketakutan seperti baru saja melihat hantu. Sampai kemudian saya tak sengaja melihat bayangan sendiri di cermin toilet, barulah saya paham alasan ketakutannya. Penampilan saya seperti orang gila! Rambut saya yang sepanjang pinggang basah kuyub, dan ada beberapa busa sampo di atasnya, bahkan di telinga dan dahi saya!
Barulah saya ingat bahwa pagi ini, karena kaget saya berlari begitu saja tanpa mempedulikan apapun karena takut terlambat ujian. Melihat penampilan ini saya tertawa terpingkal-pingkal seorang diri. Lagi-lagi, saya membuat seorang mahasiswi urung masuk toilet, dan balik kanan dengan langkah cepat. Ulahnya ini makin membuat saya tertawa sampai menangis. Antara jengkel, merasa konyol, dan mengasihani diri!
Yaa..tahun-tahun krisis moneter ini menjadi tahun yang terhitung berat bagi saya. Tuntutan tugas perkuliahan mahasiswi eksakta yang melimpah, bayangan masa depan suram di era krisis ekonomi negara, ketakutan gagal memberikan performa akademis yang bisa menjadi bekal bersaing di ketatnya perebutan lapangan pekerjaan, membuat saya dibayangi rasa takut dan merasa tertekan. Ditambah lagi ada problem masalah keluarga. Saya mudah hilang fokus, dan sering keteteran. Berujung pada berbagai kekonyolan diri yang berpotensi memorakporandakan masa depan saya, persis seperti kejadian di hari itu.
Setelah menata diri kembali, membenahi penampilan, saya duduk di pojok depan Perpustakaan kampus. Di tengah termangu dengan kenyataan hidup, saya dikagetkan oleh tepukan di bahu dari Ronald, teman saya seangkatan dari program studi yang berbeda. “Nona, kenapa wajah murung dan bengong begitu? Tra bae,” katanya dengan logat kental Ambon. Dahinya berkerut dan telunjuknya bergoyang ke kanan ke kiri sebagai tanda tidak. Saya hanya bisa tersenyum malu.
Sejurus kemudian Ronald duduk di samping saya, mengeluarkan selembar kertas dan pena. Sambil menggoreskan sesuatu di atasnya, ia bertanya pada saya. “Kamu tahu apa arti namamu?”
Kaget ditanya begitu, saya menjawab sekenanya. “Nama dari alkitab,” ucap saya. Naomi, seorang wanita sedih yang minta dirinya dipanggil “Mara” atau “pahit”, karena hidupnya penuh kegetiran. Suami dan kedua putranya meninggal tanpa sempat meneruskan garis keturunan.
“Ah, tidak Nona…Naomi adalah wanita Ibrani pertama yang melakukan perjalanan antar negara tanpa didampingi pria di masanya! Dia wanita kuat, tegar, dan tidak mengenal takut,” koreksi Ronald, membungkam saya. Saya melihat ke arah kertas, di atasnya ada sebaris kata. Ronald meminta saya membaca tulisannya itu. “Aku,” baca saya. Dia hanya mengangguk sambil mengulas senyuman.
Sejurus kemudian, ia menambahkan simbol yang sepintas berbentuk antara tanda plus atau huruf T kecil (t). Kembali, ia meminta saya membaca. Tapi, entah kenapa, otak saya seperti beku dan tidak paham apa maksud Ronald dan apa makna kata yang ia goreskan di kertas itu. Setelah beberapa kali menebak dan salah, Ronald membukakan mata saya, bahwa kata sederhana yang ia tuliskan itu jika dibaca adalah “┼aku┼”, (takut)! Ah! Betapa tidak fokusnya saya!
Ronald kemudian berujar, “Di dalam rasa takutmu, ada penjagaan Tuhan,” katanya sambil melingkari dua huruf “t” yang mengapit kata "aku" dan yang rupanya juga mewakili simbol salib. Melihat kedua mata saya berkaca-kaca, Ronald kembali menepuk pundak saya sambil berkata, “Ingat ini setiap kali Nona merasa takut, dan jangan takut lagi.” Dengan tersenyum, ia berpamitan untuk bersiap menuju ruang ujian, meninggalkan saya dalam permenungan. Hari itu, Tuhan begitu nyata bagi saya. Terima kasih sobat, di manapun engkau berada saat ini. Tuhan memberkatimu!
No comments:
Post a Comment