Pokoknya sedih banget kalau ada
orang yang belum pernah merasakan serunya jatuh cinta! Ibarat kata, melihat
kelebat bayangan si dia saja jantung rasanya seperti ingin melompat dari
biliknya! Dan begitu berhadapan muka, kita bisa merasakan sensasi aneh, seperti
ada belasan kupu-kupu beterbangan, menggelitiki dinding perut.
Ooh...jadi begitu
ya rasanya jatuh cinta? Tanya saya dalam hati sambil menutup novel romantika
mendayu-dayu yang sedang saya baca. Begitu sempurna, dan begitu tidak masuk
akal! Andai semua kisah cinta berakhir seperti Cinderella atau Putri Salju,
pasti tidak akan ada klub JOJOBA (jomblo-jomblo bahagia) yang dibalik tawa,
menyimpan kesedihan sekaligus kerinduan mendalam akan hadirnya sosok soulmate
atau pasangan hidup dalam kehidupan mereka.
“Kapaaan???”
Oh,
Noo...! Pertanyaan penuh arti yang diikuti dengan kerlingan mata
ini semakin sering menghampiri saya. Semua variasi jawaban sudah pernah saya
coba. Mulai dari yang paling populer, seperti “A.S.A.P” (As Soon As
Possible), “Tunggu tanggal mainnya”, “May...be yes, maybe no!”, sampai
akhirnya saya hanya bisa tersenyum (semanis mungkin) karena kehabisan ide! Terserah
bagaimana mereka memaknai arti di balik senyum itu, saya pasrah saja! Hahaha...
Bicara masalah
pasangan hidup atau soulmate, saya jadi teringat pada Susan, sahabat
saya semasa kuliah di Jogja. Sebagai sesama perantauan, kami saling menjaga.
Ketika saya sakit, ia merombak kamar kostnya yang berukuran 3x3,5 meter itu
menjadi kamar pesakitan. Susan bahkan rela bangun lebih awal untuk memasak
sarapan buat saya sebelum berangkat kuliah. Tepatlah ungkapan bijak Salomo
dalam Amsal 17:17, bahwa “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan
menjadi seorang saudara dalam kesukaran.”
Tapi, sempat
suatu kali saya protes besar-besaran kepada Tuhan. Hal ini berkaitan dengan
Susan. Saya merasa bahwa Tuhan telah memperlakukan sahabat saya itu dengan
tidak adil. Harusnya, Susan bisa jadi manajer public relations yang
sukses, bukan penjaga toko kelontong di tengah pasar yang becek dan amis saat
musim hujan, dan berdebu di musim kemarau. Dia harusnya berada dalam lingkungan
pergaulan orang-orang hebat, dan bukan dikelilingi oleh kuli panggul atau
kuda-kuda liar yang berlarian di bukit.
Memang, di
keluarganya, prestasi akademik Susan tidak segemilang sang kakak yang bisa
menyabet predikat memuaskan di dua universitas negeri ternama di Bandung dalam
waktu yang hampir bersamaan. Meskipun begitu, Tuhan membekali Susan dengan
kemampuan interpersonal yang menonjol. Kepandaiannya dalam berkomunikasi dan
pembawaannya yang menarik membuatnya banyak dikelilingi oleh orang-orang. Ia
juga tidak pernah membeda-bedakan, dan selalu baik, ramah dan tulus kepada
semua orang.
Tapi kenyataan
berbicara lain. Ia harus rela menelan mimpi dan idealismenya menjadi wanita
karier dan pulang ke Bima, kota kecil di sudut provinsi NTB. Setelan kerjanya
berganti dengan pasangan kaos dan celana kulot. Dari ruang ber-AC, kini Susan
duduk di antara jejalan barang-barang kelontong di tengah pasar. Hawa pengap,
debu dan bau tidak sedap yang melayang-layang menjadi makanan sehari-harinya.
Tidak pernah lagi tercium wangi parfum Channel atau Kenzo yang dipakai
teman-teman atau para kliennya. Alunan lembut musik jazz yang dulu menjadi
makanan sehari-hari, kini berganti menjadi suara kemeresek radio dangdut bervolume
keras dari toko bangunan reot di samping toko orang tuanya.
Tentu saja
kenyataan ini sangat mengusik saya. Sebagai sahabat, saya berusaha sekuat tenaga
untuk “memperbaiki nasibnya”. Entah itu lewat serbuan kata-kata penuh motivasi
atau berbagai tawaran kesempatan kerja di kota besar yang bisa dicobanya. Tapi
hasilnya nihil! Ritme kehidupan desa yang lambat kembali menenggelamkannya
dalam kelelahan dan keputusasaan.
Saya gagal “menyelamatkan” situasi sahabat
saya. Setidaknya, itulah yang saya kira. Dan hal ini menambah kekecewaan saya
kepada Tuhan, yang saya anggap tidak adil. Tidak adil karena telah membiarkan
sahabat saya yang luar biasa baik itu terpuruk dalam nasib sedemikian rupa. Hingga suatu kali
jantung saya serasa hampir copot mendengar sebuah berita dari salah satu teman
kami di Jogja.
“Eh tau nggak, Oktober nanti Susan merit! ” ujar
teman saya itu lewat telepon.
“Masa sih?” tanya saya dengan
nada tidak percaya.
“Iya! Calonnya dari Australia dan
keren sekali!”, tambah teman saya menggebu-gebu. “Setelah nikah, dia diboyog
suaminya ke Bali. Mereka punya usaha restoran besar di sana!” lanjut teman
saya.
Beberapa detik
setelah mendengar kabar ini, hati dan pikiran saya sempat mengalami
ketidakkonsistenan. Di samping luapan rasa bahagia, ada juga sebersit rasa iri
menyelinap di hati. Kog bisa siih...?? Rasanya baru kemarin saya mendengar
keluh kesahnya tentang hidup terkungkung di kota terpencil, jauh dari
peradaban. Tapi bagaimana ceritanya, seorang pria tampan asal Australia
menemukan Susan diantara tumpukan barang-barang kelontong yang dijual di toko
ayahnya? Saya tidak habis pikir!
Dulu, saya sering
merasa prihatin dengan nasib sahabat saya itu. Di saat Susan heboh bercerita
tentang suara burung hantu yang sering membuat tidur malamnya tersiksa, saya
sedang repot menyiapkan bahan-bahan untuk rapat redaksi. Dan di saat ia sedang
bosan melangut, menunggu para pembeli mampir ke toko kelontongnya, saya tengah
berlari-lari mengejar nara sumber untuk berita utama di halaman media tempat
saya bekerja.
Kondisi saat ini
berbalik 180 derajat! Di saat saya sedang frustasi mengejar deadline artikel,
Susan sedang asyik bersantai di teras rumahnya yang menghadap ke pantai
berpasir putih dan birunya laut Pulau Dewata Bali. Dan ketika saya masih
bertanya-tanya tentang pasangan hidup, Susan sedang bercengkrama hangat dengan
suami tercintanya sambil menantikan lahirnya buah hati mereka.
Betapa hal-hal
yang kami anggap buruk dan sial, kini telah berbalik menjadi kebaikan dan
berkat yang manis. Dengan kenyataan seperti ini, saya jadi berpikir-pikir, apa
jadinya kalau dulu Susan tetap berkeras merantau, mengikuti desakan saya yang
sok tahu. Apa yang saya pikir terbaik untuk sahabat saya itu, ternyata
berpotensial mengacaukan masa depan Susan yang telah didesain dengan begitu
unik oleh Tuhan. Penuh kejutan dan indah!
“Suka duka
dipakaiNya untuk kebaikanmu”. Potongan syair lagu pujian NKB ini mengingatkan
saya betapa kuasa Tuhan bekerja secara bebas dalam otoritas dan kekayaan kasih
karunia-Nya. “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan
jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya
langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku
dari rancanganmu.” (Yesaya 55:8,9)
Di atas ambang batas pikiran dan pengharapan manusia,
demikian lah karya-Nya. Tetapi seperti ada tertulis:
"Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga,
dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah
untuk mereka yang mengasihi Dia." (1 Korintus 2:9).
Jadi, kalau Tuhan berhasil menuntun seorang ‘kesatria berkuda putih’
dari tanah seberang lautan untuk bertemu dengan sahabat saya Susan yang tinggal
nun jauh di perbukitan Bima, NTB. Masa iya, Dia gagal menuntun seseorang yang
tepat, yang memang dipersiapkan secara khusus bagi Anda dan saya? Selamat
menantikan kejutan Tuhan!
**Tulisan ini pernah dimuat di Buletin Cermin GKI Layur, edisi Januari 2010
No comments:
Post a Comment