Wednesday, 4 January 2017

Menunggu Cinta


Pokoknya sedih banget kalau ada orang yang belum pernah merasakan serunya jatuh cinta! Ibarat kata, melihat kelebat bayangan si dia saja jantung rasanya seperti ingin melompat dari biliknya! Dan begitu berhadapan muka, kita bisa merasakan sensasi aneh, seperti ada belasan kupu-kupu beterbangan, menggelitiki dinding perut.
Ooh...jadi begitu ya rasanya jatuh cinta? Tanya saya dalam hati sambil menutup novel romantika mendayu-dayu yang sedang saya baca. Begitu sempurna, dan begitu tidak masuk akal! Andai semua kisah cinta berakhir seperti Cinderella atau Putri Salju, pasti tidak akan ada klub JOJOBA (jomblo-jomblo bahagia) yang dibalik tawa, menyimpan kesedihan sekaligus kerinduan mendalam akan hadirnya sosok soulmate atau pasangan hidup dalam kehidupan mereka.
“Kapaaan???”
Oh, Noo...! Pertanyaan penuh arti yang diikuti dengan kerlingan mata ini semakin sering menghampiri saya. Semua variasi jawaban sudah pernah saya coba. Mulai dari yang paling populer, seperti “A.S.A.P” (As Soon As Possible), “Tunggu tanggal mainnya”, “May...be yes, maybe no!”, sampai akhirnya saya hanya bisa tersenyum (semanis mungkin) karena kehabisan ide! Terserah bagaimana mereka memaknai arti di balik senyum itu, saya pasrah saja! Hahaha...
Bicara masalah pasangan hidup atau soulmate, saya jadi teringat pada Susan, sahabat saya semasa kuliah di Jogja. Sebagai sesama perantauan, kami saling menjaga. Ketika saya sakit, ia merombak kamar kostnya yang berukuran 3x3,5 meter itu menjadi kamar pesakitan. Susan bahkan rela bangun lebih awal untuk memasak sarapan buat saya sebelum berangkat kuliah. Tepatlah ungkapan bijak Salomo dalam Amsal 17:17, bahwa “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.”  
Tapi, sempat suatu kali saya protes besar-besaran kepada Tuhan. Hal ini berkaitan dengan Susan. Saya merasa bahwa Tuhan telah memperlakukan sahabat saya itu dengan tidak adil. Harusnya, Susan bisa jadi manajer public relations yang sukses, bukan penjaga toko kelontong di tengah pasar yang becek dan amis saat musim hujan, dan berdebu di musim kemarau. Dia harusnya berada dalam lingkungan pergaulan orang-orang hebat, dan bukan dikelilingi oleh kuli panggul atau kuda-kuda liar yang berlarian di bukit.
Memang, di keluarganya, prestasi akademik Susan tidak segemilang sang kakak yang bisa menyabet predikat memuaskan di dua universitas negeri ternama di Bandung dalam waktu yang hampir bersamaan. Meskipun begitu, Tuhan membekali Susan dengan kemampuan interpersonal yang menonjol. Kepandaiannya dalam berkomunikasi dan pembawaannya yang menarik membuatnya banyak dikelilingi oleh orang-orang. Ia juga tidak pernah membeda-bedakan, dan selalu baik, ramah dan tulus kepada semua orang.
Tapi kenyataan berbicara lain. Ia harus rela menelan mimpi dan idealismenya menjadi wanita karier dan pulang ke Bima, kota kecil di sudut provinsi NTB. Setelan kerjanya berganti dengan pasangan kaos dan celana kulot. Dari ruang ber-AC, kini Susan duduk di antara jejalan barang-barang kelontong di tengah pasar. Hawa pengap, debu dan bau tidak sedap yang melayang-layang menjadi makanan sehari-harinya. Tidak pernah lagi tercium wangi parfum Channel atau Kenzo yang dipakai teman-teman atau para kliennya. Alunan lembut musik jazz yang dulu menjadi makanan sehari-hari, kini berganti menjadi suara kemeresek radio dangdut bervolume keras dari toko bangunan reot di samping toko orang tuanya.
Tentu saja kenyataan ini sangat mengusik saya. Sebagai sahabat, saya berusaha sekuat tenaga untuk “memperbaiki nasibnya”. Entah itu lewat serbuan kata-kata penuh motivasi atau berbagai tawaran kesempatan kerja di kota besar yang bisa dicobanya. Tapi hasilnya nihil! Ritme kehidupan desa yang lambat kembali menenggelamkannya dalam kelelahan dan keputusasaan. 
Saya gagal “menyelamatkan” situasi sahabat saya. Setidaknya, itulah yang saya kira. Dan hal ini menambah kekecewaan saya kepada Tuhan, yang saya anggap tidak adil. Tidak adil karena telah membiarkan sahabat saya yang luar biasa baik itu terpuruk dalam nasib sedemikian rupa. Hingga suatu kali jantung saya serasa hampir copot mendengar sebuah berita dari salah satu teman kami di Jogja. 
“Eh tau nggak, Oktober nanti Susan merit! ” ujar teman saya itu lewat telepon.  
“Masa sih?” tanya saya dengan nada tidak percaya.
“Iya! Calonnya dari Australia dan keren sekali!”, tambah teman saya menggebu-gebu. “Setelah nikah, dia diboyog suaminya ke Bali. Mereka punya usaha restoran besar di sana!” lanjut teman saya.
Beberapa detik setelah mendengar kabar ini, hati dan pikiran saya sempat mengalami ketidakkonsistenan. Di samping luapan rasa bahagia, ada juga sebersit rasa iri menyelinap di hati. Kog bisa siih...?? Rasanya baru kemarin saya mendengar keluh kesahnya tentang hidup terkungkung di kota terpencil, jauh dari peradaban. Tapi bagaimana ceritanya, seorang pria tampan asal Australia menemukan Susan diantara tumpukan barang-barang kelontong yang dijual di toko ayahnya? Saya tidak habis pikir!
Dulu, saya sering merasa prihatin dengan nasib sahabat saya itu. Di saat Susan heboh bercerita tentang suara burung hantu yang sering membuat tidur malamnya tersiksa, saya sedang repot menyiapkan bahan-bahan untuk rapat redaksi. Dan di saat ia sedang bosan melangut, menunggu para pembeli mampir ke toko kelontongnya, saya tengah berlari-lari mengejar nara sumber untuk berita utama di halaman media tempat saya bekerja.
Kondisi saat ini berbalik 180 derajat! Di saat saya sedang frustasi mengejar deadline artikel, Susan sedang asyik bersantai di teras rumahnya yang menghadap ke pantai berpasir putih dan birunya laut Pulau Dewata Bali. Dan ketika saya masih bertanya-tanya tentang pasangan hidup, Susan sedang bercengkrama hangat dengan suami tercintanya sambil menantikan lahirnya buah hati mereka.
Betapa hal-hal yang kami anggap buruk dan sial, kini telah berbalik menjadi kebaikan dan berkat yang manis. Dengan kenyataan seperti ini, saya jadi berpikir-pikir, apa jadinya kalau dulu Susan tetap berkeras merantau, mengikuti desakan saya yang sok tahu. Apa yang saya pikir terbaik untuk sahabat saya itu, ternyata berpotensial mengacaukan masa depan Susan yang telah didesain dengan begitu unik oleh Tuhan. Penuh kejutan dan indah!
“Suka duka dipakaiNya untuk kebaikanmu”. Potongan syair lagu pujian NKB ini mengingatkan saya betapa kuasa Tuhan bekerja secara bebas dalam otoritas dan kekayaan kasih karunia-Nya. “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.” (Yesaya 55:8,9)
Di atas ambang batas pikiran dan pengharapan manusia, demikian lah karya-Nya. Tetapi seperti ada tertulis: "Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia." (1 Korintus 2:9).

Jadi, kalau Tuhan berhasil menuntun seorang ‘kesatria berkuda putih’ dari tanah seberang lautan untuk bertemu dengan sahabat saya Susan yang tinggal nun jauh di perbukitan Bima, NTB. Masa iya, Dia gagal menuntun seseorang yang tepat, yang memang dipersiapkan secara khusus bagi Anda dan saya? Selamat menantikan kejutan Tuhan! 



**Tulisan ini pernah dimuat di Buletin Cermin GKI Layur, edisi Januari 2010

No comments:

Post a Comment

Belajar Dari Jagung

Kisah ini saya tulis sebagai kenangan sekaligus ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada kakak saya, Teguh dan istrinya Caec...