Repotnya jadi orang sentimentil! Semua-semua maunya disimpan untuk memorabilia. Mulai dari karcis bioskop, surat-surat lama, kartu ucapan, foto, diary, teropong kaleidoskop dan lain-lain. Beberapa diantaranya saya simpan sejak SD!
Rasanya, membuang salah satu dari barang-barang itu secara sengaja, bisa membuat memori kita ikut terhapus. Makanya, sedih sekali kalau tiba-tiba saya mengetahui, ada salah satu dari "koleksi" saya yang raib.
Seperti cerita sedih di hari Minggu, 10 Juli 2011. Secarik kertas usang berusia 8,5 tahun yang sudah saya simpan sejak 1 Januari 2003 itu tiba-tiba lenyap! Terakhir kali, saya ingat betul meletakkannya di atas meja belajar. Karena sudah ringkih, banyak bagiannya yang pecah mengikuti alur bekas lipatan, tepiannya juga sudah compang-camping dimakan usia. Makanya, saya berencana untuk melakukan konservasi kecil-kecilan dengan menggunakan selotip bening.
Eh, ditinggal ke gereja, kog pulang-pulang kertas itu raib dari tempatnya. Sudah dicari-sana-sini, bahkan sampai ngoprek keranjang sampah tetangga, tetap ngga ketemu. Ketika tanya Mbok penjaga rumah, dia juga mengaku tidak mengutak-atik apa pun di meja saya. Dan saya percaya, karena mereka ini memang tidak pernah usil seperti itu. Pendek kata, carikan kertas itu lenyap ditelan bumi! Bahkan tidak secuil pun remahan kertas itu tertinggal di atas meja!
Kertas itu berisi 4 permohonan doa yang saya tulis pada pukul 00:00, sesaat memasuki 1 Januari 2003, di rumah Eyang, di Yogyakarta tercinta. Pada waktu itu, saya dan beberapa sepupu perempuan (Hana, Wisma, dan Miranti), punya tradisi tahunan – istilah kami: make a wish – untuk saling bertukar lembar doa. Di kertas itu kami akan menuliskan permohonan kami, untuk didoakan bersama sepanjang tahun 2003. Begitu di penghujung tahun, kami akan berkumpul untuk berefleksi dan mengevaluasi diri, termasuk mengecek jawaban terhadap doa-doa kami. Dalam kesempatan ini, kami bisa melihat bagaimana Tuhan bekerja melalui doa-doa kami. Dua dari empat permohonan doa saya saat memasuki tahun 2003 itu telah dijawab Tuhan, tepat pada waktu-NYA.
Permohonan 1:
Mendoakan rencana pernikahan kakak saya dengan kekasihnya. Setelah 11 tahun melalui proses mengenal dan dikenal, tentunya mereka berdua ingin melanjutkan hubungan kasih ini ke tingkat komitmen yang lebih tinggi. Tetapi, saya memohon agar Tuhan memberikan dia kemandirian finansial dulu sebelum menikah.
Jawaban doa:
Hasilnya positif dan definitif! Tuhan mengabulkan doa kami. Pada Mei 2003, atau 4 bulan kemudian, kakak laki-laki saya diangkat menjadi pegawai tetap di salah satu harian nasional tanah air, untuk pekerjaan yang sudah lama diimpikannya. Dan pada 28 September 2003 mereka berdua menikah. Hebat ya Tuhan itu?? Tepat dan pada waktuNYA! ^^
Permohonan 2:
Saya memohon agar Tuhan memberikan pekerjaan bagi saya yang waktu itu berada di posisi ’pengangguran’ intelektual. Lulus S1, sembari menunggu ’jodoh’ dari sekian banyak lamaran pekerjaan yang saya buat, saya bekerja sebagai tukang warnet di Warnet Planet, dekat IKIP YKPN, Yogyakarta. Job description utamanya: billing dan trouble shouting. Keren kan!
Jawaban doa:
Terkabul! Pada Agustus 2003, atau 7 bulan setelah doa pertama kami panjatkan, saya diterima bekerja di sebuah media cetak nasional berbahasa Inggris di ibu kota.
Memang, tidak ada yang kebetulan dalam dunia ini, segala sesuatunya telah dirancang sedemikian rupa oleh Sang Empunya Hidup. Pekerjaan sebagai penjaga warnet memiliki andil besar dalam mempersiapkan saya mengikuti rangkaian job test sebagai reporter. Sebab, selama berjam-jam di depan komputer, saya suka mengakses berita di laman harian itu. Karena keseringan, jadi mendapat banyak input kosakota, serta terbiasa dengan style atau gaya penulisannya. Sampai suatu hari, Mba Dian, teman satu kost yang saat itu masih bekerja sebagai sekretaris Bapak Amien Rais, membawa pulang harian langganan bosnya itu dan mengangsurkannya pada saya. "Non, kamu kan hobi bahasa Inggris, coba masukin lamaran ke sini, deh."
Singkat kata, saya memberanikan diri untuk mencoba. Nothing to lose! Berbekal nilai TOEFL ITP dan dua tulisan contoh berbahasa Inggris, yaitu abstrak skripsi yang hanya dua paragraf serta selembar proposal penelitian beasiswa (yang gagal), akhirnya saya dipanggil test ke Jakarta. Saat ujian menulis berita, saya diuntungkan dengan kebiasaan membaca harian itu, sehingga tinggal copy-paste style penulisannya. Memang sudah jalannya saya harus jadi tukang warnet dulu. Sebab di masa itu, akses internet terbilang mahal buat saya, yaitu Rp10.000/jam. Padahal, setelah lulus kuliah, saya gaya-gayaan, berkeras tidak mau menerima uang bulanan dari orang tua, selain biaya sewa kamar kost yang besarnya Rp180.000/bulan. Jadi, biaya hidup sehari-hari, bergantung pada penghasilan jaga warnet. Lumayan, bisa akses gratis internet juga!
Tepat setahun setelah kelulusan saya pada 19 Agustus 2002, di tanggal yang sama, yaitu 19 Agustus 2003, saya menjalani hari pertama sebagai seorang Reporter di harian The Jakarta Post. Meski sekarang saya tak lagi di sana, tapi di situlah tempat saya, yang lulusan Fakultas Pertanian ini, digembleng menjadi seorang jurnalis.
Apabila seluruh rangkaian kisah hidup itu diputar kembali, rasanya mata dan pikiran saya sebagai manusia tidak akan sanggup memahami grand design Sang Pencipta. Masih ada doa-doa yang masih menunggu jawab. Semoga, di pasang dan surutnya kehidupan ini, kita tidak putus berharap dan bergantung pada-NYA, hingga pada suatu masa nanti, kita bisa melihat rencana dan penyertaan Tuhan yang indah dalam hidup kita, Amin.
No comments:
Post a Comment