Apa yang dicari orang?
Uang!
Apa yang dicari orang?
Uang!
Apa yang dicari orang,
siang, malam, pagi, petang?
Uang! Uang..uang! Bukan Firman Tuhan
Lagu unik yang sangat sederhana itu saya kenal lewat senandung
kecil almarhum kakek, ayah ibu saya almarhum. Semasa hidupnya, beliau berkarya
sebagai pendeta di sebuah desa kecil di pinggiran kota Sleman, Yogyakarta.
Dulu, saat saya masih duduk di bangku SD, saat-saat berlibur ke kota gudeg
menjadi momen yang paling saya nantikan. Ketika itu, saya dan keluarga masih
tinggal di Jawa Timur.
Di desa kakek, tidak ada aspal, yang ada hanya jalan tanah yang
bergunduk-gunduk dan tidak rata. Di sana juga tidak ada gedung bertingkat.
Satu-satunya bangunan besar yang ada hanyalah gedung puskesmas satu lantai
peninggalan Belanda yang bersebelahan dengan pekuburan. Sisanya, adalah
hamparan sawah, dan rumah-rumah penduduk berdinding anyaman bambu dan
beralaskan tanah.
Saya senang sekali berlari-larian di halaman rumah kakek yang luas dan
penuh dengan aneka tanaman hias dan pohon buah. Saya tidak suka memakai sandal
atau sepatu di sana. Saya menyukai sensasi tanah kecoklatan yang bersih,
lembut, dan dingin bergesek di telapak kaki. Saya suka membaui rontokan bunga
jambu air yang berguguran di halaman kakek. Saya suka mengamati beliau saat menyapu halaman di
pagi hari.
Bagi kakek, menyapu halaman
lebih dari sekadar rutinitas harian. Tapi lebih kepada ritual khusus yang
setiap tahapnya memiliki makna. Duduk di undakan tangga semen yang dingin, saya
mulai mengamati ritual kakek. Diawali dengan memerciki halaman dengan air dari
timba plastik. Ya, benar, bukan menyiram, tapi memerciki! Dengan tangkai
pegangan ember di tangan kiri, kakek memerciki halaman tanah dengan tangan
kanannya. Dimulai dari garis halaman yang paling luar, dari kiri ke kanan,
mirip seperti jalan gandaran mesin ketik, saat kita menekan tuts-tutsnya.
Terkadang, saya menawarkan diri untuk membantu
kakek mengangkat ember plastik yang sudah penuh air dari sumur ke halaman. Setelah
halaman rata oleh lembabnya air, kakek mulai menyapu halaman dengan sapu lidi
buatannya sendiri, hasil dari menyisiki tulang daun kelapa (blarak) yang rontok ke tanah. Sama
seperti saat menyiram, kakek bergerak dari kiri ke kanan, dari depan menuju ke
belakang. Bekas jejak kaki kakek meninggalkan pola lucu yang teratur di atas
sisiran lembut ujung sapu lidi.
“Kenapa harus begitu Kek?”
tanya saya suatu hari, penasaran dengan cara kakek yang terlihat begitu rumit.
Kakek menjawab dengan kekehan suara tawanya yang khas. Topi capingnya yang
lebar mengangguk-angguk saat ia tertawa. “Biar enak dilihat,” ucap kakek
sederhana. Jawaban pendek yang tepat untuk anak usia 7 tahun yang selalu ingin
tahu.
Kakek memang menyukai keteraturan dan keindahan.
Dan beliau mengawalinya dengan membereskan halaman rumahnya. Merefleksikannya di masa kini, tiba-tiba saya
diingatkan pada sebuah pepatah:
“If everybody would clean up his yard,
the rest of the world would take care of itself”
Masalah terbesarnya sekarang adalah, orang menjadi terlalu
sibuk sehingga tak sempat membersihkan ”halaman” mereka sendiri. Atau justru
terlalu repot mengurusi ”halaman” tetangga, sehingga lupa bahwa halamannya
sendiri sudah berubah menjadi semak belukar, penuh dengan tumpukan daun kering
dan sampah.
Lewat caranya yang unik kakek membuat saya belajar untuk
bertransformasi. Melihat ke dalam diri, membenahi apa yang bisa dibenahi. Saya
juga belajar tentang kesabaran, bagaimana menghargai proses, dan menikmatinya
sebagai bagian dari perjalanan pembentukan karakter. Semua hal di atas masih menjadi topik utama
pembelajaran saya hingga saat ini.
Sayangnya, banyak orang tak lagi mengindahkan proses. Bahkan, kalau bisa semua proses di-by pass, agar bisa cepat tiba di tujuan.
Gaya hidup mobile juga dianggap
paling pas mewakili tuntutan zaman yang dinamis dan serba cepat. Kini, orang
lebih memilih layanan ”take away” –
mulai dari ayam goreng sampai kopi – lalu menikmatinya secara ”on the go”, alias dalam perjalanan. Tak
ada waktu untuk makan bersama di rumah, bercanda bersama keluarga, atau sekadar
menikmati kopi sambil mengobrol santai di teras.
”Saya tua di jalan,” ungkap salah seorang rekan
saya. Lucunya, ucapan yang harusnya bernada keluhan ini justru terdengar
seperti ungkapan kebanggaan. Bangga karena dia telah
berhasil menampilkan citra kaum sibuk metropolis yang menghabiskan 75% waktu
hidupnya untuk meraih ambisi karier. Tak heran sindroma BP7 semakin merajalela di antara masyarakat
perkotaan. Berangkat Pagi-Pagi, Pulang Petang-Petang, Penghasilan Pas-Pasan.
Bentuk serangan sindroma BP7 ini bisa bermacam-macam, tapi biasanya para
penderitanya menunjukkan gejala klasik yang sama, yaitu mengalami kekeringan
emosional, hilang rasa dan juga asa.
Demi mengejar sederet target hidup orang rela mengambil jatah waktu
istirahat dan rekreasi. Bukannya kebahagiaan, malah rasa bersalah, kekecewaan,
dan ketidakpuasan mereka dapatkan. Rasa bersalah karena kita tak punya cukup banyak waktu bersama
orang-orang terkasih – orang tua, adik/kakak, sahabat, pacar. Kekecewaan,
karena seolah-olah tak ada seorang pun yang mau mengerti betapa berat
perjuangan yang kita lampaui. Dan ketidakpuasaan, karena tak peduli seberapa
keras kita berusaha, keberuntungan dan kesuksesan seperti tak pernah berpihak
kepada kita.
Lambat laun, hidup kita berubah menjadi deretan
angka kalender tanpa makna, berjalan berdasarkan rutinitas belaka. Bangun – ke
kantor – terjebak kemacetan – sibuk dengan tumpukan pekerjaan - pulang –
kembali terjebak kemacetan – tidur – bangun lagi, terus begitu. Orang berubah
menjadi seperti robot yang diprogram. Sengaja tidak
sengaja, kita mulai mematikan emosi dan perasaan demi bisa tetap fokus pada
sebuah tujuan – kehidupan yang “mapan” di mata manusia. Kita menutup mata dan
pura-pura tidak tahu terhadap penderitaan dan keterbengkalaian yang terjadi di
sekeliling kita – kemiskinan, kelaparan, kebodohan dan pembodohan. Uang menjadi
ukuran realita bagi kita, bukan kasih.
Di tengah desakan penumpang bus kota dan riuhnya
lalu-lintas Jakarta, senandung kakek kembali terngiang di telinga...
”Apa
yang dicari orang? Uang!
Apa
yang dicari orang? Uang!
Apa yang dicari orang, siang, malam, pagi, petang?
Uang!
Uang..uang! Bukan firman Tuhan!”
”Apa yang dicari Tuhan?
Orang!
Apa yang dicari Tuhan?
Orang!
Apa yang dicari Tuhan,
siang, malam, pagi, petang?
Orang! Orang, orang...Orang yang berdosa...”
”Sukses
menurut ukuran dunia bukanlah tujuan akhir dari misi hidup kita. Bumi adalah
tanah sementara, sedangkan tubuh hanyalah debu tanpa hembusan nafas-Nya.”
(Tulisan saya ini pernah dipublikasikan di Buletin Cermin GKI Layur)
No comments:
Post a Comment