Wednesday, 4 January 2017

Secuil Kisah Dari Halaman Rumah Kakek

Apa yang dicari orang? Uang!
Apa yang dicari orang? Uang!
Apa yang dicari orang, siang, malam, pagi, petang?
Uang! Uang..uang! Bukan Firman Tuhan

      Lagu unik yang sangat sederhana itu saya kenal lewat senandung kecil almarhum kakek, ayah ibu saya almarhum. Semasa hidupnya, beliau berkarya sebagai pendeta di sebuah desa kecil di pinggiran kota Sleman, Yogyakarta. Dulu, saat saya masih duduk di bangku SD, saat-saat berlibur ke kota gudeg menjadi momen yang paling saya nantikan. Ketika itu, saya dan keluarga masih tinggal di Jawa Timur.
      Di desa kakek, tidak ada aspal, yang ada hanya jalan tanah yang bergunduk-gunduk dan tidak rata. Di sana juga tidak ada gedung bertingkat. Satu-satunya bangunan besar yang ada hanyalah gedung puskesmas satu lantai peninggalan Belanda yang bersebelahan dengan pekuburan. Sisanya, adalah hamparan sawah, dan rumah-rumah penduduk berdinding anyaman bambu dan beralaskan tanah.
Saya senang sekali berlari-larian di halaman rumah kakek yang luas dan penuh dengan aneka tanaman hias dan pohon buah. Saya tidak suka memakai sandal atau sepatu di sana. Saya menyukai sensasi tanah kecoklatan yang bersih, lembut, dan dingin bergesek di telapak kaki. Saya suka membaui rontokan bunga jambu air yang berguguran di halaman kakek. Saya suka mengamati beliau saat menyapu halaman di pagi hari.
      Bagi kakek, menyapu halaman lebih dari sekadar rutinitas harian. Tapi lebih kepada ritual khusus yang setiap tahapnya memiliki makna. Duduk di undakan tangga semen yang dingin, saya mulai mengamati ritual kakek. Diawali dengan memerciki halaman dengan air dari timba plastik. Ya, benar, bukan menyiram, tapi memerciki! Dengan tangkai pegangan ember di tangan kiri, kakek memerciki halaman tanah dengan tangan kanannya. Dimulai dari garis halaman yang paling luar, dari kiri ke kanan, mirip seperti jalan gandaran mesin ketik, saat kita menekan tuts-tutsnya.
Terkadang, saya menawarkan diri untuk membantu kakek mengangkat ember plastik yang sudah penuh air dari sumur ke halaman. Setelah halaman rata oleh lembabnya air, kakek mulai menyapu halaman dengan sapu lidi buatannya sendiri, hasil dari menyisiki tulang daun kelapa (blarak) yang rontok ke tanah. Sama seperti saat menyiram, kakek bergerak dari kiri ke kanan, dari depan menuju ke belakang. Bekas jejak kaki kakek meninggalkan pola lucu yang teratur di atas sisiran lembut ujung sapu lidi.
      “Kenapa harus begitu Kek?” tanya saya suatu hari, penasaran dengan cara kakek yang terlihat begitu rumit. Kakek menjawab dengan kekehan suara tawanya yang khas. Topi capingnya yang lebar mengangguk-angguk saat ia tertawa. “Biar enak dilihat,” ucap kakek sederhana. Jawaban pendek yang tepat untuk anak usia 7 tahun yang selalu ingin tahu.
Kakek memang menyukai keteraturan dan keindahan. Dan beliau mengawalinya dengan membereskan halaman rumahnya. Merefleksikannya di masa kini, tiba-tiba saya diingatkan pada sebuah pepatah:

“If everybody would clean up his yard,
the rest of the world would take care of itself”

      Masalah terbesarnya sekarang adalah, orang menjadi terlalu sibuk sehingga tak sempat membersihkan ”halaman” mereka sendiri. Atau justru terlalu repot mengurusi ”halaman” tetangga, sehingga lupa bahwa halamannya sendiri sudah berubah menjadi semak belukar, penuh dengan tumpukan daun kering dan sampah.
Lewat caranya yang unik kakek membuat saya belajar untuk bertransformasi. Melihat ke dalam diri, membenahi apa yang bisa dibenahi. Saya juga belajar tentang kesabaran, bagaimana menghargai proses, dan menikmatinya sebagai bagian dari perjalanan pembentukan karakter. Semua hal di atas masih menjadi topik utama pembelajaran saya hingga saat ini.
Sayangnya, banyak orang tak lagi mengindahkan proses. Bahkan, kalau bisa semua proses di-by pass, agar bisa cepat tiba di tujuan. Gaya hidup mobile juga dianggap paling pas mewakili tuntutan zaman yang dinamis dan serba cepat. Kini, orang lebih memilih layanan ”take away” – mulai dari ayam goreng sampai kopi – lalu menikmatinya secara ”on the go”, alias dalam perjalanan. Tak ada waktu untuk makan bersama di rumah, bercanda bersama keluarga, atau sekadar menikmati kopi sambil mengobrol santai di teras. 
Saya tua di jalan,” ungkap salah seorang rekan saya. Lucunya, ucapan yang harusnya bernada keluhan ini justru terdengar seperti ungkapan kebanggaan. Bangga karena dia telah berhasil menampilkan citra kaum sibuk metropolis yang menghabiskan 75% waktu hidupnya untuk meraih ambisi karier. Tak heran sindroma BP7 semakin merajalela di antara masyarakat perkotaan. Berangkat Pagi-Pagi, Pulang Petang-Petang, Penghasilan Pas-Pasan. Bentuk serangan sindroma BP7 ini bisa bermacam-macam, tapi biasanya para penderitanya menunjukkan gejala klasik yang sama, yaitu mengalami kekeringan emosional, hilang rasa dan juga asa.
Demi mengejar sederet target hidup orang rela mengambil jatah waktu istirahat dan rekreasi. Bukannya kebahagiaan, malah rasa bersalah, kekecewaan, dan ketidakpuasan mereka dapatkan. Rasa bersalah karena kita tak punya cukup banyak waktu bersama orang-orang terkasih – orang tua, adik/kakak, sahabat, pacar. Kekecewaan, karena seolah-olah tak ada seorang pun yang mau mengerti betapa berat perjuangan yang kita lampaui. Dan ketidakpuasaan, karena tak peduli seberapa keras kita berusaha, keberuntungan dan kesuksesan seperti tak pernah berpihak kepada kita.
Lambat laun, hidup kita berubah menjadi deretan angka kalender tanpa makna, berjalan berdasarkan rutinitas belaka. Bangun – ke kantor – terjebak kemacetan – sibuk dengan tumpukan pekerjaan - pulang – kembali terjebak kemacetan – tidur – bangun lagi, terus begitu. Orang berubah menjadi seperti robot yang diprogram. Sengaja tidak sengaja, kita mulai mematikan emosi dan perasaan demi bisa tetap fokus pada sebuah tujuan – kehidupan yang “mapan” di mata manusia. Kita menutup mata dan pura-pura tidak tahu terhadap penderitaan dan keterbengkalaian yang terjadi di sekeliling kita – kemiskinan, kelaparan, kebodohan dan pembodohan. Uang menjadi ukuran realita bagi kita, bukan kasih.
Di tengah desakan penumpang bus kota dan riuhnya lalu-lintas Jakarta, senandung kakek kembali terngiang di telinga...
 
”Apa yang dicari orang? Uang!
Apa yang dicari orang? Uang!
Apa yang dicari orang, siang, malam, pagi, petang?
Uang! Uang..uang! Bukan firman Tuhan!” 

”Apa yang dicari Tuhan? Orang!
Apa yang dicari Tuhan? Orang!
Apa yang dicari Tuhan, siang, malam, pagi, petang?
Orang! Orang, orang...Orang yang berdosa...”

”Sukses menurut ukuran dunia bukanlah tujuan akhir dari misi hidup kita. Bumi adalah tanah sementara, sedangkan tubuh hanyalah debu tanpa hembusan nafas-Nya.”

(Tulisan saya ini pernah dipublikasikan di Buletin Cermin GKI Layur)

No comments:

Post a Comment

Belajar Dari Jagung

Kisah ini saya tulis sebagai kenangan sekaligus ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada kakak saya, Teguh dan istrinya Caec...