Friday, 22 March 2013

Keelokan Mistis Danau Sentarum







Menikmati Harmoni Alam di Jantung Pedalaman Kalimantan Barat


Heaven on earth. Kesan ini layak ditujukan pada kecantikan mistis yang meliputi 132.000 hektar luasan Taman Nasional (TN) Danau Sentarum. Seperti pagi itu, bunyi lembut mesin perahu berkekuatan 3 pk yang saya tumpangi mengiring perjalanan membelah ketenangan air danau. Sisa-sisa kabut masih menggantung tipis di atas permukaan danau dan menebal di puncak-puncak pepohonan berusia puluhan, bahkan ratusan tahun yang tumbuh di rawa-rawa. Membawa suasana damai sekaligus mistis di Meliau, salah satu kawasan perkampungan yang ada di TN Danau Sentarum.

Spontan, saya julurkan tangan untuk menangkap percikan dinginnya air danau yang berwarna coklat kemerahan dari sisi lambung perahu. Rupanya, bahan asam tannin dari pohon dan daun yang membusuk dalam air inilah yang menyebabkannya memiliki warna seunik ini. Meski warnanya seperti itu, namun airnya sangat jernih! Nelayan yang pagi itu membawa perahu kami, menyarankan saya untuk membasuh wajah dengan air danau. Ritual ini dipercaya akan membawa orang yang melakukannya kembali ke sana.

Mengingat kecantikan alamnya, tak ada ruginya jika saran ini saya ikuti. Air danau yang jernih seketika menghalau jauh sisa kantuk, menggantinya dengan kesegaran alami yang tidak bisa ditandingi oleh semprotan facial spray produk kosmetik terkenal mana pun di dunia! Udara kaya oksigen sumbangan dari pepohonan juga menjadi terapi tersendiri bagi tubuh saya yang penat dengan tebalnya polusi ibu kota. 



Rombongan perahu kami berhenti di tepi hutan rawa. Dari atas perahu, kami melihat serumpun tanaman kantong semar berwarna hijau dengan sepuhan merah di bagian tepi dan tutupnya. Salah seorang penghulu perahu mengambil sebuah yang memiliki kantong besar. Ia bercerita, bahwa ketika mereka mencari ikan dan kelaparan, para nelayan dari suku Dayak Iban ini akan memakai kantong semar sebagai panci untuk menanak nasi. Caranya, membakar kantong semar yang telah diisi oleh beras dan air sungai secukupnya.

Memang, dari penampilannya, agak meragukan jika kantong semar ini bisa bertahan oleh jerangan api. Tetapi, selama keragu-raguan ini tidak terlontar keluar, maka apa yang ditakutkan tidak akan terjadi. Sebaliknya, jika sampai terucap, maka kantong semar itu akan ikut terbakar habis. Oleh sebab itu, ritual memasak ini sebaiknya dilakukan dalam diam. Percaya, tidak percaya, tapi pengalaman telah mengantar mereka pada kesimpulan ini.

Kalau sedang bosan dan mulut ingin mengunyah yang segar-segar, maka para nelayan ini akan memetik jambu hutan. Sepintas buahnya tampak seperti segerombolan bunga kecil-kecil. Namun, setelah diperhatikan bunga ini sebenarnya adalah buah yang bentuk maupun rasanya mirip dengan manis asam buah jambu air, hanya ukurannya saja mini. Tak hanya nelayan yang suka, buah unik ini merupakan kudapan favorit bekantan (Nasalis larvatus) dan orang utan (Pongo pygmaeus).

Bekantan dan orang utan merupakan bagian dari 147 spesies hewan mamalia yang bisa ditemukan di kawasan TN Danau Sentarum. Mereka ini hidup berpindah-pindah dengan membangun sarang sebagai tempat tidur yang dibuat dari tumpukan daun dengan tebal sampai tujuh lapis. Meski tak berhasil berpapasan dengan salah satunya, seorang nelayan berhasil menemukan jejak bekas sarang mereka. Menurutnya, setelah mengembara hingga berminggu-minggu pergi untuk mencari makan atau kawin, hewan soliter ini akan kembali ke sarangnya. 




Perahu kami kembali menyusur kanal-kanal kecil yang terbentuk oleh barisan vegetasi rawa. Meski tak bertemu orang utan, tapi saya dan rombongan berpapasan dengan para penghuni lain, seperti ular belang berbisa yang sedang bergelung malas di cabang pohon yang kami lintasi, biawak, berang-berang, dan burung Enggang yang terbang melintas danau. Bagi suku Dayak, burung Enggang adalah totem yang sangat disakralkan. Mereka percaya bahwa burung ini adalah jelmaan dari roh leluhur yang menjadi pelindung mereka.

Akar tanaman yang lintang pukang di bawah air terkadang membuat kami harus mematikan mesin perahu agar baling-baling tidak patah karena tersangkut. Namun, justru di saat-saat seperti ini lah telinga saya dibuai oleh suara alam. Ada bunyi arus sungai dan suara percikannya saat beradu dengan dayung, cericit dan lengkingan berbagai jenis burung atau hewan mamalia, dan desahan daun yang tertiup angin sepoi. Benar-benar surga!

 (Artikel ini pernah terbit di Femina edisi 18/2012)

Bersambung ke... "Mengenal Dayak Iban" 

MENGENAL DAYAK IBAN



Setelah menempuh perjalanan darat 8 jam dari Pontianak ke Kebupaten Sintang, dan lanjut dengan 8 jam perjalanan air memakai speed boat, akhirnya rombongan kami tiba di Meliau. Kampung yang terletak sekitar 700 kilometer dari ibu kota Kalimantan Barat ini merupakan pemukiman suku Dayak Iban. Bunyi pukulan alat musik kenong yang terbuat dari tembaga mengiringi tarian Ngajat dari dua wanita yang menyambut kedatangan kami.

Dengan sedikit ngeri saya meniti anak tangga kayu sempit minus pegangan yang menjulang tinggi menuju ke rumah betang, tempat kami menginap. Rumah panggung sepanjang 300 meter ini keseluruhannya tersusun dari papan kayu yang dibangun diatas pilar-pilar kuat kayu Belian (kayu besi) dengan tinggi rata-rata 8-9 meter dari tanah. Sengaja dibuat setinggi ini untuk menghindari tusukan tombak saat terjadi perang suku di masa lalu. “Sebab, orang Dayak tidak membunuh dengan sumpit, tapi dengan tombak. Sumpit hanya dipakai untuk berburu hewan,” terang Hermas, pria asli Kalimantan yang bekerja di salah satu LSM lokal. 

Di dalam rumah betang terdapat selasar memanjang yang berfungsi sebagai balai pertemuan, tempat upacara adat, dan tempat bersosialisasi penghuninya. Di sepanjang selasar terdapat 14 bilik, yang setiap biliknya dihuni oleh 2-3 KK. Total, ada sekitar 27 KK yang tinggal di rumah betang ini. Sebagai pendatang, kami wajib menjalani upacara gawai, tradisi penyambutan, sekaligus mengusir roh atau kekuatan jahat yang mungkin menempeli kami selama perjalanan. 




Upacara berjalan cukup unik, setelah kami duduk, tetua adat yang sudah berusia lanjut berkeliling sambil mengibaskan ayam jantan (hidup) ke atas kami masing-masing. Bagian adat yang dikenal dengan istilah Manyauti ini dipercaya sebagai penawar mimpi buruk dan roh jahat. Kemudian, ayam tersebut dipotong, dan bulu ekor yang telah dicelup darah ayam disapukan ke seluruh tamu agar semua hal yang buruk ikut dibawa pergi oleh ayam yang mati.


Barisan piring berisi berbagai penganan di depan kami membuat perut yang keroncongan setelah perjalanan panjang mulai bereaksi. Ada sumanan pulut (nasi ketan dalam bambu bakar), rendai (berondong padi), dan tompe (beras ketan yang dimatangkan di atas daun pisang). Sebagai temannya, mereka menyajikan baram, minuman dengan sedikit kandungan alkohol hasil dari fermentasi tape.

Uniknya lagi, isi pinggan yang tersisa kemudian disatukan dalam piring dan kemudian digantung di langit-langit. Tiga hari kemudian, mereka akan melihat apakah ada makanan dan minuman yang isinya berkurang, tanda bahwa sesajen tersebut dimakan roh. Bagian yang tidak dimakan, ditaburkan ke beberapa titik yang dipercaya sebagai tempat bersemayam roh.

Meski sebagian besar orang dayak Iban telah memeluk agama seperti Kristen dan Islam, tapi dalam kehidupannya mereka memang masih memegang kebiasaan leluhur yang kental dengan nuansa animisme ini. “Tetapi, semua ritual ini lebih mereka jalankan dengan tujuan untuk melestarikan budaya leluhur dan memohonkan keselamatan,” terang, Anas Nashrullah, salah satu staf WWF Indonesia yang mendampingi penduduk setempat.

Sebagian besar  suku Dayak Iban di Meliau menghidupi keluarga mereka sebagai nelayan.   Tidak heran, jika di atas langit-langit kayu bilik tempat kami bermalam, terlihat gulungan jala, dan jaring-jaring untuk menyimpan ikan. Sementara para suami mencari ikan, para istri menganyam tikar dan tas punggung tinggi sebagai penambah pendapatan. Meski tinggal di pedalaman yang terpencil, anak-anak suku dayak Iban tetap mengenal pendidikan. Meski untuk murid SMP atau SMA harus menempuh perjalanan dengan speedboat 40 pk selama dua jam dari Meliau ke kota kecamatan Batang Lupar. 




Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba minim, tapi kekerabatan di antara mereka sangat erat. Saat makan bersama menjadi favorit saya. Di atas gelaran tikar tersaji bermacam lauk dan sayur, termasuk masakan ikan hasil tangkapan mereka. Malam itu saya mencicip ikan tapah dan toman (snake head), ikan agresif yang bisa mencapai panjang lebih dari satu meter dan bobot lebih dari 60 kilogram. Selain ikan-ikan ini terdapat sekitar 266 spesies ikan yang hidup di Danau Sentarum, salah satunya ikan langka Arwarna Merah (Secleropages legendrei) yang kalau dijual bisa mencapai harga di atas jutaan dolar amerika!

Kedua ikan yang agresif ini, bersama buaya dan ikan buntal yang beracun, menjadi ancaman tersendiri bagi warga yang tinggal di sungai. Makanya, saya sempat was-was juga ketika tahu bahwa kami harus mandi di sungai. Untuk mandi kami harus turun ke bawah dengan mengenakan kemben sejak dari kamar (tak ada kamar mandi untuk berganti pakaian). Tanpa listrik, sumber penerangan kami hanyalah terang dari lampu senter.





Dari lubang antar papan yang membentuk bak, kami bisa merasakan deras arus sungai. Sempat deg-degan juga, bagaimana jika buaya, ular air, atau dua ikan ganas tadi masuk dari antara celah-celah papan dan menggigit kami? Tetapi, segarnya air sungai dan siraman sinar dari berlaksa-laksa bintang di langit malam yang jernih membuat kami lupa dengan semua ketakutan itu. Kepenatan setelah perjalanan panjang sehari itu langsung lepas berganti dengan harmonisasi alam yang menenangkan jiwa.

(Artikel ini pernah terbit di Femina edisi 18/2012)

Belajar Dari Jagung

Kisah ini saya tulis sebagai kenangan sekaligus ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada kakak saya, Teguh dan istrinya Caec...