Menikmati Harmoni Alam di Jantung Pedalaman Kalimantan Barat
Heaven on earth. Kesan ini layak ditujukan pada kecantikan mistis yang meliputi 132.000 hektar luasan Taman Nasional (TN) Danau Sentarum. Seperti pagi itu, bunyi lembut mesin perahu berkekuatan 3 pk yang saya tumpangi mengiring perjalanan membelah ketenangan air danau. Sisa-sisa kabut masih menggantung tipis di atas permukaan danau dan menebal di puncak-puncak pepohonan berusia puluhan, bahkan ratusan tahun yang tumbuh di rawa-rawa. Membawa suasana damai sekaligus mistis di Meliau, salah satu kawasan perkampungan yang ada di TN Danau Sentarum.
Spontan, saya julurkan tangan
untuk menangkap percikan dinginnya air danau yang berwarna coklat kemerahan
dari sisi lambung perahu. Rupanya, bahan asam tannin dari pohon dan daun yang
membusuk dalam air inilah yang menyebabkannya memiliki warna seunik ini. Meski
warnanya seperti itu, namun airnya sangat jernih! Nelayan yang pagi itu membawa
perahu kami, menyarankan saya untuk membasuh wajah dengan air danau. Ritual ini
dipercaya akan membawa orang yang melakukannya kembali ke sana.
Mengingat kecantikan alamnya,
tak ada ruginya jika saran ini saya ikuti. Air danau yang jernih seketika
menghalau jauh sisa kantuk, menggantinya dengan kesegaran alami yang tidak bisa
ditandingi oleh semprotan facial spray
produk kosmetik terkenal mana pun di dunia! Udara kaya oksigen sumbangan dari
pepohonan juga menjadi terapi tersendiri bagi tubuh saya yang penat dengan
tebalnya polusi ibu kota.
Rombongan perahu kami berhenti di tepi hutan rawa. Dari atas perahu, kami melihat serumpun tanaman kantong semar berwarna hijau dengan sepuhan merah di bagian tepi dan tutupnya. Salah seorang penghulu perahu mengambil sebuah yang memiliki kantong besar. Ia bercerita, bahwa ketika mereka mencari ikan dan kelaparan, para nelayan dari suku Dayak Iban ini akan memakai kantong semar sebagai panci untuk menanak nasi. Caranya, membakar kantong semar yang telah diisi oleh beras dan air sungai secukupnya.
Memang, dari penampilannya,
agak meragukan jika kantong semar ini bisa bertahan oleh jerangan api. Tetapi,
selama keragu-raguan ini tidak terlontar keluar, maka apa yang ditakutkan tidak
akan terjadi. Sebaliknya, jika sampai terucap, maka kantong semar itu akan ikut
terbakar habis. Oleh sebab itu, ritual memasak ini sebaiknya dilakukan dalam
diam. Percaya, tidak percaya, tapi pengalaman telah mengantar mereka pada
kesimpulan ini.
Kalau sedang bosan dan mulut
ingin mengunyah yang segar-segar, maka para nelayan ini akan memetik jambu
hutan. Sepintas buahnya tampak seperti segerombolan bunga kecil-kecil. Namun,
setelah diperhatikan bunga ini sebenarnya adalah buah yang bentuk maupun
rasanya mirip dengan manis asam buah jambu air, hanya ukurannya saja mini. Tak
hanya nelayan yang suka, buah unik ini merupakan kudapan favorit bekantan (Nasalis larvatus) dan orang utan (Pongo pygmaeus).
Bekantan dan orang utan
merupakan bagian dari 147 spesies hewan mamalia yang bisa ditemukan di kawasan
TN Danau Sentarum. Mereka ini hidup berpindah-pindah dengan membangun sarang
sebagai tempat tidur yang dibuat dari tumpukan daun dengan tebal sampai tujuh
lapis. Meski tak berhasil berpapasan dengan salah satunya, seorang nelayan
berhasil menemukan jejak bekas sarang mereka. Menurutnya, setelah mengembara
hingga berminggu-minggu pergi untuk mencari makan atau kawin, hewan soliter ini
akan kembali ke sarangnya.
Perahu kami kembali menyusur kanal-kanal kecil yang terbentuk oleh barisan vegetasi rawa. Meski tak bertemu orang utan, tapi saya dan rombongan berpapasan dengan para penghuni lain, seperti ular belang berbisa yang sedang bergelung malas di cabang pohon yang kami lintasi, biawak, berang-berang, dan burung Enggang yang terbang melintas danau. Bagi suku Dayak, burung Enggang adalah totem yang sangat disakralkan. Mereka percaya bahwa burung ini adalah jelmaan dari roh leluhur yang menjadi pelindung mereka.
Akar tanaman yang lintang
pukang di bawah air terkadang membuat kami harus mematikan mesin perahu agar
baling-baling tidak patah karena tersangkut. Namun, justru di saat-saat seperti
ini lah telinga saya dibuai oleh suara alam. Ada bunyi arus sungai dan suara
percikannya saat beradu dengan dayung, cericit dan lengkingan berbagai jenis
burung atau hewan mamalia, dan desahan daun yang tertiup angin sepoi.
Benar-benar surga!
Bersambung ke... "Mengenal Dayak Iban"
(Artikel ini pernah terbit di Femina edisi 18/2012)