Setelah menempuh perjalanan darat 8 jam dari Pontianak ke Kebupaten Sintang, dan lanjut dengan 8 jam perjalanan air memakai speed boat, akhirnya rombongan kami tiba di Meliau. Kampung yang terletak sekitar 700 kilometer dari ibu kota Kalimantan Barat ini merupakan pemukiman suku Dayak Iban. Bunyi pukulan alat musik kenong yang terbuat dari tembaga mengiringi tarian Ngajat dari dua wanita yang menyambut kedatangan kami.
Dengan sedikit ngeri saya meniti anak
tangga kayu sempit minus pegangan yang menjulang tinggi menuju ke rumah betang,
tempat kami menginap. Rumah panggung sepanjang 300 meter ini keseluruhannya
tersusun dari papan kayu yang dibangun diatas pilar-pilar kuat kayu Belian
(kayu besi) dengan tinggi rata-rata 8-9 meter dari tanah. Sengaja dibuat
setinggi ini untuk menghindari tusukan tombak saat terjadi perang suku di masa
lalu. “Sebab, orang Dayak tidak membunuh dengan sumpit, tapi dengan tombak.
Sumpit hanya dipakai untuk berburu hewan,” terang Hermas, pria asli
Kalimantan yang bekerja di salah satu LSM lokal.
Di dalam rumah betang terdapat selasar
memanjang yang berfungsi sebagai balai pertemuan, tempat upacara adat, dan
tempat bersosialisasi penghuninya. Di sepanjang selasar terdapat 14 bilik, yang
setiap biliknya dihuni oleh 2-3 KK. Total, ada sekitar 27 KK yang tinggal di
rumah betang ini. Sebagai pendatang, kami wajib menjalani upacara gawai,
tradisi penyambutan, sekaligus mengusir roh atau kekuatan jahat yang mungkin
menempeli kami selama perjalanan.
Upacara berjalan cukup unik, setelah kami duduk, tetua adat yang sudah berusia lanjut berkeliling sambil mengibaskan ayam jantan (hidup) ke atas kami masing-masing. Bagian adat yang dikenal dengan istilah Manyauti ini dipercaya sebagai penawar mimpi buruk dan roh jahat. Kemudian, ayam tersebut dipotong, dan bulu ekor yang telah dicelup darah ayam disapukan ke seluruh tamu agar semua hal yang buruk ikut dibawa pergi oleh ayam yang mati.
Barisan piring berisi berbagai penganan
di depan kami membuat perut yang keroncongan setelah perjalanan panjang mulai
bereaksi. Ada sumanan pulut (nasi
ketan dalam bambu bakar), rendai
(berondong padi), dan tompe (beras
ketan yang dimatangkan di atas daun pisang). Sebagai temannya, mereka
menyajikan baram, minuman dengan
sedikit kandungan alkohol hasil dari fermentasi tape.
Uniknya lagi, isi pinggan yang tersisa
kemudian disatukan dalam piring dan kemudian digantung di langit-langit. Tiga
hari kemudian, mereka akan melihat apakah ada makanan dan minuman yang isinya
berkurang, tanda bahwa sesajen tersebut dimakan roh. Bagian yang tidak dimakan,
ditaburkan ke beberapa titik yang dipercaya sebagai tempat bersemayam roh.
Meski sebagian besar orang dayak Iban
telah memeluk agama seperti Kristen dan Islam, tapi dalam kehidupannya mereka
memang masih memegang kebiasaan leluhur yang kental dengan nuansa animisme ini.
“Tetapi, semua ritual ini lebih mereka jalankan dengan tujuan untuk
melestarikan budaya leluhur dan memohonkan keselamatan,” terang, Anas
Nashrullah, salah satu staf WWF Indonesia yang mendampingi penduduk
setempat.
Sebagian besar suku Dayak Iban di Meliau menghidupi keluarga
mereka sebagai nelayan. Tidak heran,
jika di atas langit-langit kayu bilik tempat kami bermalam, terlihat gulungan
jala, dan jaring-jaring untuk menyimpan ikan. Sementara para suami mencari
ikan, para istri menganyam tikar dan tas punggung tinggi sebagai penambah
pendapatan. Meski tinggal di pedalaman yang terpencil, anak-anak suku dayak
Iban tetap mengenal pendidikan. Meski untuk murid SMP atau SMA harus menempuh
perjalanan dengan speedboat 40 pk selama dua jam dari Meliau ke kota kecamatan
Batang Lupar.
Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba minim, tapi kekerabatan di antara mereka sangat erat. Saat makan bersama menjadi favorit saya. Di atas gelaran tikar tersaji bermacam lauk dan sayur, termasuk masakan ikan hasil tangkapan mereka. Malam itu saya mencicip ikan tapah dan toman (snake head), ikan agresif yang bisa mencapai panjang lebih dari satu meter dan bobot lebih dari 60 kilogram. Selain ikan-ikan ini terdapat sekitar 266 spesies ikan yang hidup di Danau Sentarum, salah satunya ikan langka Arwarna Merah (Secleropages legendrei) yang kalau dijual bisa mencapai harga di atas jutaan dolar amerika!
Kedua ikan yang agresif ini, bersama
buaya dan ikan buntal yang beracun, menjadi ancaman tersendiri bagi warga yang
tinggal di sungai. Makanya, saya sempat was-was juga ketika tahu bahwa kami
harus mandi di sungai. Untuk mandi kami harus turun ke bawah dengan mengenakan
kemben sejak dari kamar (tak ada kamar mandi untuk berganti pakaian). Tanpa
listrik, sumber penerangan kami hanyalah terang dari lampu senter.
Dari lubang antar papan yang membentuk bak, kami bisa merasakan deras arus sungai. Sempat deg-degan juga, bagaimana jika buaya, ular air, atau dua ikan ganas tadi masuk dari antara celah-celah papan dan menggigit kami? Tetapi, segarnya air sungai dan siraman sinar dari berlaksa-laksa bintang di langit malam yang jernih membuat kami lupa dengan semua ketakutan itu. Kepenatan setelah perjalanan panjang sehari itu langsung lepas berganti dengan harmonisasi alam yang menenangkan jiwa.
(Artikel ini pernah terbit di Femina edisi 18/2012)
No comments:
Post a Comment