Kuku yang tajam menyeruak dari buku-buku jari kakinya, mencengkeram erat tanah di bawahnya. Pahatan kaki singa ini tampak gagah “menjaga” gerbang undakan menuju ke pemandian utama raja. Berlokasi di ketinggian lebih dari 150 meter, gerbang singa gunung ini menjadi salah satu spot menarik di situs kerajaan Sigiriya yang berdiri kokoh di atas gunung batu ini.
Nama
Sigiriya diambil dari kata singha (singa) dan giri (gunung
cadas), jadi artinya singa gunung. Kerajaan yang dibangun di atas gunung batu
granit setinggi 180 meter ini merupakan peninggalan Raja Kasyapa (477 – 495
AD). Salah satu rekan media menjulukinya sebagai raja paranoid. Tapi begitulah
kesan yang kami tangkap saat mendengar cerita Kumar.
Demi
merebut tahta kerajaan, Kasyapa membunuh ayahnya, Raja Dhatusena, dengan
menguburnya hidup-hidup di dalam dinding. Saudara tirinya, Moggallan yang
mestinya duduk menggantikan raja melarikan diri ke India, untuk kembali lagi
demi menuntut balas. Ketakutan dengan ancaman sang kakak, Kasyapa memindahkan
istananya ke atas puncak gunung batu.
Untuk
alasan keamanan, Kasyapa menempatkan beberapa penjaga di hampir setiap kelokan
jalan setapak menuju puncak. Mungkin karena karma, kisah raja paranoid ini
harus berakhir tragis. Mengira bahwa ia ditinggalkan oleh para prajuritnya di
medan perang, Kasyapa mencabut pedang dan mengakhiri hidup. Padahal, para
prajuritnya sedang mengambil jalan memutar untuk menghindari rawa!
Sembari
mendengarkan cerita Kumar, kami berjalan menuju puncak istana dengan mendaki
sekitar 1500 anak tangga. Perjuangan panjang yang melelahkan! Pasalnya,
seharian berpanas-panasan ingin rasanya saya menghabiskan waktu dengan
duduk-duduk santai di bawah rindangnya pohon Banyan. Namun gengsi juga ketika
melihat seorang nenek terlihat bersemangat ingin segera tiba di atas.
Salah satu selir Kasyapa yang diduga dari bangsa Moor |
“Gile juga nih raja paranoid,” ujar saya dalam hati. Baru saja selesai membatin, tiba-tiba wajah saya dihempas angin kecang yang datang dari sela-sela jeruji pelindung. Saking kerasnya, wajah seperti baru ditampar! Jangan-jangan si raja tidak suka dengan pikiran saya. Hiii...kuduk saya langsung merinding! Tapi hari itu angin memang bertiup sangat kencang. Apalagi di ketinggian ratusan meter dari tanah, hempasan angin ini seolah ingin menerbangkan kami.
Pemandian di puncak bukit tempat Kasyapa memanjakan diri bersama para selir |
“Selama
menjadi guide di Sigiriya, belum pernah saya mengalami angin sekencang
ini,” aku Ajit, salah satu pemandu lokal yang sempat jatuh terjengkang
karena terpaan dahsyat angin. Melihat pria itu nyaris dilambungkan angin,
akhirnya kami sepakat untuk duduk menunggu sambil berpegangan erat pada gagang
besi undakan. Begini akibatnya kalau berani menggoda “si singa gunung”. Kat
Bitha atau Mirror wall menjadi spot menarik lain di Sigiriya. Tembok
ini dilapisi campuran khusus gamping dan digosok hingga mengilap sehingga bisa
merefleksikan lukisan dinding di seberangnya. Kami juga dapat membaca 1500-an graffiti berusia sekitar 1000
tahun yang ditorehkan para tamu yang menjadi pengunjung Sigirya di abad
silam.
Namun
kami baru benar-benar puas ketika bisa menapakkan kaki di puncak undakan
terakhir Sigiriya. Untuk mengabadikannya, Ajit, pemandu yang kali itu bertindak
sebagai fotografer merangkap pengarah gaya, meminta saya berpose dengan
membentangkan kedua tangan mirip adegan di film Titanic. Tetap romantis meski
tanpa kehadiran Leonardo Di Caprio. Sebab, dari ketinggian ini saya bisa
menyaksikan keindahan lansekap kuno rancangan Kasyapa yang membingkai kolam
pemandian para putri.
Bersambung ke... "Mencicip Sisi Liar Srilanka"
No comments:
Post a Comment