Tuesday, 19 March 2013

Menggoda "Singa Gunung"





Kuku yang tajam menyeruak dari buku-buku jari kakinya, mencengkeram erat tanah di bawahnya. Pahatan kaki singa ini tampak gagah “menjaga” gerbang undakan menuju ke pemandian utama raja. Berlokasi di ketinggian lebih dari 150 meter, gerbang singa gunung ini menjadi salah satu spot menarik di situs kerajaan Sigiriya yang berdiri kokoh di atas gunung batu ini. 

Nama Sigiriya diambil dari kata singha (singa) dan giri (gunung cadas), jadi artinya singa gunung. Kerajaan yang dibangun di atas gunung batu granit setinggi 180 meter ini merupakan peninggalan Raja Kasyapa (477 – 495 AD). Salah satu rekan media menjulukinya sebagai raja paranoid. Tapi begitulah kesan yang kami tangkap saat mendengar cerita Kumar. 

Demi merebut tahta kerajaan, Kasyapa membunuh ayahnya, Raja Dhatusena, dengan menguburnya hidup-hidup di dalam dinding. Saudara tirinya, Moggallan yang mestinya duduk menggantikan raja melarikan diri ke India, untuk kembali lagi demi menuntut balas. Ketakutan dengan ancaman sang kakak, Kasyapa memindahkan istananya ke atas puncak gunung batu. 

Untuk alasan keamanan, Kasyapa menempatkan beberapa penjaga di hampir setiap kelokan jalan setapak menuju puncak. Mungkin karena karma, kisah raja paranoid ini harus berakhir tragis. Mengira bahwa ia ditinggalkan oleh para prajuritnya di medan perang, Kasyapa mencabut pedang dan mengakhiri hidup. Padahal, para prajuritnya sedang mengambil jalan memutar untuk menghindari rawa! 

Sembari mendengarkan cerita Kumar, kami berjalan menuju puncak istana dengan mendaki sekitar 1500 anak tangga. Perjuangan panjang yang melelahkan! Pasalnya, seharian berpanas-panasan ingin rasanya saya menghabiskan waktu dengan duduk-duduk santai di bawah rindangnya pohon Banyan. Namun gengsi juga ketika melihat seorang nenek terlihat bersemangat ingin segera tiba di atas.

Salah satu selir Kasyapa yang diduga dari bangsa Moor
Setelah 60 menit mendaki undakan, kami tiba di pemberhentian pertama yang menyaksikan lukisan kuno pada ceruk dinding batu. “Dari lukisan ini kita bisa tahu bahwa Raja Kasyapa menggemari wanita asing,” ujar Kumar sambil mengajak saya dan beberapa teman mencermati detail jejeran lukisan wanita di dinding itu. Wanita dengan mata besar, bibir tebal, dan kulit gelap itu diduga seorang selir yang berasal dari Afrika. Wanita bermata sipit dan berkulit kuning itu diduga datang dari Jepang. Sementara gambar wanita bermata biru diduga berasal dari ras caucasia.

“Gile juga nih raja paranoid,” ujar saya dalam hati. Baru saja selesai membatin, tiba-tiba wajah saya dihempas angin kecang yang datang dari sela-sela jeruji pelindung. Saking kerasnya, wajah seperti baru ditampar! Jangan-jangan si raja tidak suka dengan pikiran saya. Hiii...kuduk saya langsung merinding! Tapi hari itu angin memang bertiup sangat kencang. Apalagi di ketinggian ratusan meter dari tanah, hempasan angin ini seolah ingin menerbangkan kami. 

Pemandian di puncak bukit tempat Kasyapa memanjakan diri bersama para selir
“Selama menjadi guide di Sigiriya, belum pernah saya mengalami angin sekencang ini,” aku Ajit, salah satu pemandu lokal yang sempat jatuh terjengkang karena terpaan dahsyat angin. Melihat pria itu nyaris dilambungkan angin, akhirnya kami sepakat untuk duduk menunggu sambil berpegangan erat pada gagang besi undakan. Begini akibatnya kalau berani menggoda “si singa gunung”. Kat Bitha atau Mirror wall menjadi spot menarik lain di Sigiriya. Tembok ini dilapisi campuran khusus gamping dan digosok hingga mengilap sehingga bisa merefleksikan lukisan dinding di seberangnya. Kami juga dapat  membaca 1500-an graffiti berusia sekitar 1000 tahun yang ditorehkan para tamu yang menjadi pengunjung Sigirya di abad silam.     

Di puncak bukit granit ini Kasyapa merasa aman

Namun kami baru benar-benar puas ketika bisa menapakkan kaki di puncak undakan terakhir Sigiriya. Untuk mengabadikannya, Ajit, pemandu yang kali itu bertindak sebagai fotografer merangkap pengarah gaya, meminta saya berpose dengan membentangkan kedua tangan mirip adegan di film Titanic. Tetap romantis meski tanpa kehadiran Leonardo Di Caprio. Sebab, dari ketinggian ini saya bisa menyaksikan keindahan lansekap kuno rancangan Kasyapa yang membingkai kolam pemandian para putri. 

No comments:

Post a Comment

Belajar Dari Jagung

Kisah ini saya tulis sebagai kenangan sekaligus ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada kakak saya, Teguh dan istrinya Caec...